Mendengar
kata "Sekaten" tentu sebagian besar kita membayangkan keramaian pasar
malam selama sebulan menjelang Maulud di kota Yogyakarta dan Solo. Anggapan
tersebut tidak sepenuhnya benar, karena rangkaian sekaten dimulai dari Upacara
Miyos Gangsa Sekaten sampai grebeg sekaten. Upacara Miyos Gangsa Sekaten
sendiri adalah upacara keluarnya gamelan sekaten dari tempat penyimpanannya untuk
disemayanmkan di Bangsal Pancaniti dan kemudian dipindahkan ke Masjid Gedhe.
Pada postingan ini, saya hanya akan membahas mengenai asal mula sekaten.
Upacara Grebeg Sekaten |
Sekaten
merupakan salah satu tradisi yang masih bertahan di kota Yogyakarta dan Solo hingga
sekarang. Tetapi apakah semua orang yang pernah mengunjungi sekaten tahu
makna di balik kata sekaten ?. Kata sekaten berasal dari beberapa kata yang
sarat makna, yaitu :
1. Syahadatain,
yaitu kalimat shahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh
seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan
Allah.
2. Sahutain,
menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng;
3. Sakhatain:
menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak
tersebut sumber kerusakan;
4. Sakhotain: menanamkan
perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu
menghambakan diri pada Tuhan;
5. Sekati:
menimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan
buruk; dan
6. Sekat: batas, orang hidup
harus membatasi diri untuk tidak berbuat
jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.
Dari
manakah asal mula sekaten, dan siapa yang memulainya ? Sejarah sekaten dimulai
dari Kerajaan Demak pada masa pemerintahan Raden Patah. Raden Patah sebagai
raja pertama berniat menghapus segala bentuk upacara keagamaan yang sudah ada
sebelumnya salah satunya adalah upacara pengorbanan raja, dengan harapan masyarakat Jawa dapat memeluk
agama Islam secara sempurna dan "kafah" serta terlepas dari pengaruh
anminisme dan Hindu. Namun upaya
tersebut ternyata tidak membawa hasil seperti dengan yang diharapkan, justrumenimbulkan
keresahan di kalangan rakyat, sebab rakyat sudah berabad-abad terbiasa hidup
dengan adat dari kepercayaan lama. Keresahan yang menimbulkan gangguan keamanan
negara itu, masih ditambah dengan musibah lain, yaitu berjangkitnya wabah
penyakit menular.
Atas
saran Wali Songo, upacara pengorbanan raja itu dihidupkan kembali, namun diberi
warna keislaman. Hewan kurban disembelih menurut peraturan agama Islam. Awal
dan akhir doa selamatan, berupa doa Islam yang dipanjatkan oleh Sunan Giri dan
Sunan Bonang. Maka setelah kerajaan menyelenggarakan upacara kurban itu, tak
berapa lama kemudian menghilanglah wabah penyakit menular, dan ketenteraman
pulih kembali. Sesudah aman tenteram dan makmur, para Wali Songo menggiatkan
usaha untuk mensyiarkan agama Islam di kalangan rakyat. Untuk mendukung syiar
Islam tersebut, maka didirikanlah Masjid Besar sebagai pusat peribadatan umum.
Menurut candrasengkala yang berbunyi geni
mati siniram ing janmi, Masjid Besar itu selesai pembangunannya pada tahun
1408.
Meski
telah ada Masjid Besar dan para Wali Songo giat berdakwah, penyebaran agama
Islam tidak banyak mengalami kemajuan. Jumlah para santri masih sangat sedikit.
Sebagian besar rakyat terutama masyarakat pedesaan, masih enggan untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai pemyataan memeluk agama Islam. Maka
para Wali Songo lalu bermusyawarah. Mereka sependapat bahwa untuk menginsyafkan
rakyat dan kebenaran ajaran agama Islam, haruslah dilakukan secara bertahap dan
dengan penuh kearifan. Bersikap sopan-santun, ramah-tamah dalam berdakwah, dan
tanpa mencela adat serta unsur-unsur kebudayaan rakyat, bahkan memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan
rakyat sebagai sarana dakwah, terutama dengan memanfaatkan bahasa,
adat-istiadat dan kesenian rakyat.
Sunan
Kalijogo mengetahui bahwa rakyat menyukai perayaan, keramaian yang dihubungkan
dengan upacara-upacara keagamaan. Apalagi jika perayaan, keramaian itu disertai
irama gamelan, tentu akan sangat menarik perhatian rakyat untuk datang
menghadiri. Timbullah gagasan Sunan Kalijogo agar kerajaan menyelenggarakan
perayaan, keramaian setiap menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad saw, pada
bulan Rabiulawal. Untuk menarik perhatian rakyat agar mau rnasuk ke Masjid
Besar, dibunyikanlah gamelan yang ditempatkan di halaman masjid. Para Wali
dapat berdakwah langsung di hadapan rakyat.
Meski
membunyikan gamelan di halaman masjid itu dapat ditafsirkan sebagai makruh,
namun demi kelancaran syiar Islam, gagasan Sunan Kalijogo itu diterima majelis
Wali Songo. Sultan pun menyetujui pelaksanaan gagasan Sunan Kalijogo. Maka
dalam bulan Rabiulawal, seminggu sebelum hari kelahiran nabi,
diselenggarakanlah perayaan, keramaian yang disebut sekaten. Di halaman Masjid
Besar didirikan tempat khusus untuk menaruh dan membunyikan gamelan, disebut pogongon. Makna pagongan adalah tempat gong (gamelan) yang dibuat oleh Sunan Giri.
Konon, sebagian dari gendhing-gendhing (lagu) gamelan dicipta oleh Sunan Giri
pula dan sebagian lagl olen Sunan Kalijogo. Selama satu minggu gamelan
diperdengarkan terus-menerus, kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada malam
Jumat sampai lewat sholat Jumat.
Untuk
lebih menarik simpati rakyat, pada malam menjelang hari kelahiran nabi yang
bertepatan dengan tanggal 12 bulan Rabiulawal, sultan berkenan mengikuti
upacara keagarnaan di Masjid Besar. Sultan keluar dari keraton diiring (bahasa Jawa
ginarebeg) para putra dan segenap
pembesar kerajaan. Selepas sholat Isya, sultan dan para pengiringnya duduk di
serambi masjid untuk mendengarkan riwayat hidup nabi yang diuraikan oleh para
wali disusul dengan selawatan. Baru pada tengah malam, sultan dan para
pengiringnya kembali ke keraton. Gamelan yang selama seminggu ditaruh dan
dibunyikan di halaman Masjid Besar, juga di bawa ke kraton sebagai tanda
berakhirnya perasaan, keramaian sekaten dan
upacara peringatan hari kelahiran nabi.
Upacara
sekaten kemudian dilestarikan sebagian bagian dari tradisi kerajaan dan masih
dipertahankan oleh kraton Yogyakarta dan Solo. Bagi teman-teman yang ingin
melihat perayaan tradisi sekaten, akan lebih baik untuk mengetahui urutan
upacara yang dilakukan dalam tradisi sekaten, termasuk tempat dan waktunya.
Tapi kalau diungkapkan dalam postingan ini akan terlalu panjang, jadi akan
dituliskan dalam postingan selanjutnya. Ditunggu ya …
saya sing liat beritanya, tapi baru tahu sejarahnya disini, makasih mas infonya
BalasHapussama-sama, terima kasih kunjungannya, filosofinya menarik dan salah satu inti acaranya adalah pembacaan riwayat Nabi Muhammad saw ..
Hapus.. wachhhh,, begitu ternyata. he..86x. tenkz ya maz?!? namun,, kalo masjidnya untuk sekarang ini gimana?!? kok gak ada fotonya sich maz?!? aq kan pengen tw. he..86x ..
BalasHapusmasjidnya masih tetap di barat alun2 ... he he he
HapusYa besok2 lagi tak kasih gambar masjid Gede ...
luar biasa ternyta sejarah saketan itu ya mas, tapi apakah masyarakat jogyakarta tahu akan sejarah itu, kalau tidak tahu alangkah disayangkan ya :D
BalasHapusYuk liat juga tradisi unik yang lain di https://shavainistia.wordpress.com/2016/07/01/tradisi-lompat-batu-suku-nias/
BalasHapusTrimakasih mas, pencerahan yang sangat baik ....
BalasHapusbuka websitenya hotelbhinneka.com untuk mencari hotel dekat maliobor dengan harga murah
BalasHapuskak minta link kelanjutannya ada nggak?
BalasHapusAda sumber referensi nya nggak mas?
BalasHapusSangat bermanfaat bagi saya mas,pecinta budaya
BalasHapusterima kasih info sekaten
BalasHapusinformasi menarik, komentar balik ya ke blog saya www.belajarbahasaasing.com
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus