Kamis, 16 Januari 2020

Cerpen: INDAHNYA UJIAN ALLAH

Indahnya Ujian Allah
Pak Rosyid duduk diam di kursi teras rumahnya, sambil menghisap Gudang Garam rokok kesukaannya. Pandangannya lurus menatap rimbunnya pepohonan di depan rumah, menembus pekatnya pagi. Sesekali dia melihat ke arah jam dinding melalui sela-sela jendela. Dia menunggu waktu subuh tiba. Genap sepuluh hari, dia bangun jam 3.00 Pagi dan sholat tahajud, dan kemudian duduk di teras rumahnya sambil merokok, menunggu waktu subuh. Sesekali dia menghela napas panjang. Keresahan jelas terbayang di raut wajahnya. “Apakah Allah akan menerima tahajudku ?”. Malu rasanya dia memikirkan hal itu. Selama ini, bahkan sholat lima waktu masih bolong-bolong. Begitu mendapatkan masalah, baru teringat padaNya, meminta dan memohon-mohon agar diberikan jalan mengatasi masalahnya.
Pak Rosyid menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Pikirannya melayang-layang memikirkan banyaknya musibah menimpanya akhir-akhir ini. Dua bulan lalu, di Jalan Godean, dia menabrak mobil yang sedang parkir karena menghindari anak kecil yang tiba-tiba memotong jalan. Dua minggu kemudian, dia kecopetan di Pasar Beringharjo saat mau membelikan hadiah untuk istrinya yang ulang tahun. Seluruh uang gaji yang baru diterimanya hilang dicopet. Hari-hari berikutnya, berbagai musibah masih menimpanya, dari mulai file kerjaan yang hilang sehingga harus mengerjakan ulang, ban motor yang bocor beberapa kali, dimarahi bos, dan masih banyak lagi.
Hutangnya sudah menumpuk di kantor, padahal anak sulungnya masih harus membayar uang kuliah dan anaknya yang lain baru masuk SMA dan harus membayar uang sekolah. Lebih dari 6 juta harus segera dikeluarkannya dalam minggu ini. Tidak mungkin lagi dia meminjam dari kantor, karena baru bulan lalu meminjam uang di kantor. Jalan satu-satunya yang terpikirkan adalah dengan meminjam dari teman. Pak Rosyid tiba-tiba teringat dengan Akbar teman semasa di SMK Jetis dulu yang sekarang sudah cukup sukses sebagai kontraktor.
“Jalan satu-satunya aku harus pinjam dari Akbar, mudah-mudahan dia bisa menolongku seperti dulu aku menolongnya ketika dikeroyok geng motor”.
“Aku harus segera ke rumahnya pagi ini, agar bisa ketemu”, kata Pak Rosyid dalam hati. Hatinya tenang karena telah mempunyai jalan keluar dari masalahnya.
Setelah sholat subuh dan makan ubi rebus yang dibeli istrinya di warung, Pak Rosyid berangkat ke rumah temannya. Rumah temannya di Perumahan Minomartani Ngaglik Sleman, cukup jauh dari rumahnya di Kasihan, Bantul. Saat itu masih Pukul 05.30, jalanan masih sepi karena ini hari Minggu sehingga sebagian besar masyarakat belum beraktivitas. Hanya ditemui beberapa rombongan sepeda yang berbaris rapi dengan menggunakan seragam, dan beberapa penjual sayuran yang terburu-buru ke pasar karena hari mulai siang. Dia memacu skutik Beat dengan kecepatan sedang, dia tidak terburu-buru.
Hampir jam 7.00 dia sampai rumah temannya di perumahan Minomartani. Sebuah rumah dua lantai di jalan utama yang cukup megah. Pohon mangga Arumanis di halaman depan rumah, menambah asri rumah tersebut. Pak Rosyid kemudian mengetok-ketok pintu pagar rumah dengan kunci skutiknya. Sesosok tubuh mungil dengan rambut sebahu, muncul dari pintu garasi, menghampiri pintu pagar.
“Oh mas Rosyid, tumben pagi-pagi sudah datang ? mari silahkan masuk, mas Akbar ada di halaman belakang, lagi baca koran” kata wanita yang merupakan Istri temannya sambil membuka pintu pagar. “
Iya Yun, ada perlu sedikit sama Akbar” jawab Pak Rosyid. “
Monggo silahkan, langsung ke belakang saja mas” kata Yuni sambil tersenyum.
Temannya itu sedang asyik membaca koran di teras belakang rumah ketika Pak Rosyid datang menghampirinya.
‘Assalamu’alaikum warrohmatullahi wabaraokatuh”, Pak Rosyid mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam warrohmatullahi wabaraokatuh”, jawab Pak Akbar sambil menoleh dan meletakkan koran ke atas meja.  
“Eh Kamu Sid, apa kabar? kok tumben pagi-pagi sudah datang ke rumah” kata Pak Akbar sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
“Duduk Sid, monggo ...” kata Akbar lagi dengan logat Batak yang masih kental, sambil mempersilahkan pak Rosyid untuk duduk di bangku satunya. Sahabat Pak Rosyid ini memang orang batak dan baru pindah ke Yogya pada waktu SMA.
Pak Akbar mengambil rokok Sampoerna Mild yang ada di atas meja dan kemudian menyalakannya.
“Rokok Sid” Pak Akbar menawarkan.
Pak Rosyid kemudian tanpa malu mengambil sebatang rokok yang ditawarkan, menyalakan dan menghisap dalam-dalam. Asap tebal mengepul ketika dia menghembuskannya.
“Ada apa nih Sid, jam segini sudah sampai sini?, apa ada yang penting?”  Akbar bertanya memecah keheningan.
Pak Rosyid tidak segera menjawab dan menghisap rokoknya lagi dan kemudian mengembuskannya dengan kuat.
“Terus terang Bar, aku lagi dalam kesulitan masalah keuangan” jawab Pak Rosyid.
Kemudian diceritakannya mengenai musibah yang beberapa waktu ini sering menimpanya sehingga membuatnya banyak hutang di kantor. Diceritakan juga masalah kedua anaknya yang membutuhkan biaya. Anak sulungnya harus membayar biaya kuliah, sementara anak yang satu lagi harus membayar biaya sekolah karena baru masuk SMA.
“Jadi, aku datang ke sini untuk minta tolong sama kamu, barangkali kamu bisa meminjami aku uang”.
“Aku sudah bingung mau minta tolong siapa?, kamu harapan aku satu-satunya” kata Pak Rosyid mengakhiri ceritanya.
Pak Akbar termenung mendengar cerita Pak Rosyid. Dihisapnya rokoknya dalam-dalam dan dihembuskan perlahan-lahan.
“Aku turut prihatin mendengar ceritamu Sid”.
“Aku bingung harus ngomong apa?
“Kamu sahabat paling dekat yang sudah kuanggap keluarga”.
“Kamu juga pernah nolong aku saat aku dikeroyok geng motor dulu”.
“Terus terang, aku pengin sekali menolong kamu, tapi aku sendiri juga lagi ada masalah keuangan”.
“Aku baru ditipu orang Sid” kata Pak Akbar.
Kemudian Pak Akbar menceritakan permasalahannya, kalau dia diajak kerja sama salah satu rekanan bisnisnya untuk mendirikan semacam resto. Rekan bisnisnya tersebut mengatakan mempunyai lahan di daerah Kalasan seluas 5 hektar, dan telah mengajaknya meninjau lokasi. Lahan tersebut masih ditumbuhi banyak pohon Jati dan tanaman yang lain. Di beberapa bagian juga ada lubang-lubang bekas galian tanah. Menurut rekannya, lubang itu adalah bekas galian tanah untuk dipergunakan membuat batu bata. Singkatnya, rekannya itu mengajak membuat resto di mana rekannya menyediakan tanah dan dia menyediakan permodalan untuk mempersiapkan lahan, membangun sarana dan prasarana, serta biaya operasional. Setelah dihitung bersama, maka untuk semua itu dibutuhkan dana sebesar 1 milyar.
“Aku sudah menyerahkan dana ke dia 1 milyar Sid, ternyata dia itu nipu aku”.
“Tanah yang ditunjukkan itu milik saudara istrinya”.
“Dia hanya diminta untuk menjualkan”.
“Sudah 1 bulan lebih ini dia menghilang”.
“Ternyata  dia banyak hutang, dan banyak yang mencarinya untuk menagih hutang”.
“Sekarang aku jadi kekurangan uang, karena beberapa proyekku belum keluar terminnya, dan baru bulan depan keluarnya”  kata Pak Akbar mengakhiri ceritanya.
Suasana menjadi hening ketika Pak Akbar selesai menceritakan permasalahannya. Lemas rasanya Pak Rosyid mendengar cerita Pak Akbar. “Hancur sudah harapanku mendapatkan uang untuk keperluan anak-anakku”. “Aku gak enak kalau harus menambah beban Akbar” kata Pak Rosyid dalam hati.
Kesunyian kemudian terhenti dengan datangnya Istri Pak Akbar yang mengantarkan segelas kopi hitam kesukaan Pak Rosyid. Setelah mempersilahkan untuk minum kopi, istri pak Akbar kembali masuk ke dalam untuk melanjutkan aktivitasnya di dalam rumah.
“Gini saja Sid, kamu hutang dulu ke temanmu atau ke siapa, bulan depan kalau aku sudah dapat duit, aku ganti, aku kasih, gak usah hutang, aku ikhlas” kata Pak Akbar memecah keheningan.
“Masalahnya aku harus bayar uang kuliah anakku Rizki dan juga uang sekolah Nisa minggu ini”.
“Aku sudah coba cari pinjaman ke yang lain, tapi gak ada yang punya”. “Harapanku tinggal kamu Bar”.
“Tapi aku juga ngerti posisimu sekarang”.
“Nanti aku coba lagi deh cari pinjaman dari temanku yang lain” jawab Pak Rosyid lemas.
“Aku benar-benar minta maaf Sid”.
“Aku benar-benar tidak bisa menolong kamu”.
“Rasanya malu aku Sid, sebagai teman tidak bisa menolong kamu yang lagi kesulitan”. kata Pak Akbar sambil mematikan rokoknya yang sudah habis di asbak.
Pembicaraan selanjutnya beralih ke hal-hal lain. Mereka bercerita tentang masa lalu yang telah mereka lalui bersama. Apa yang diobrolkan sudah tidak menarik lagi bagi Pak Rosyid karena kegundahan dan kebingungannya mencari cara untuk mencari uang dalam waktu dekat. Pak Rosyid hanya menjadi pendengar cerita-cerita Pak Akbar, sampai kemudian istri pak Akbar menawarkan untuk makan pagi bersama-sama. Mereka pun makan bersama-sama di meja makan yang cukup besar dan mewah. Sayur kentang dan opor ayam serta krupuk yang biasanya merupakan makanan favorit, dirasakan hambar oleh Pak Rosyid. Pikirannya tidak bisa lepas dari mencari cara mendapatkan uang untuk biaya kuliah dan sekolah anak-anaknya.
Setelah selesai makan, Pak Rosyid kemudian pamit untuk pulang. Waktu itu sudah pukul 8.30 WIB. Di perjalanan pulang, pikirannya terus melayang-layang. Dia bingung memikirkan jawaban kalau ditanya masalah uang kuliah dan uang sekolah anak-anaknya. Tiba-tiba sebuah kesadaran menyeruak dalam pikirannya, untuk meminta kepada Allah dengan sholat Dhuha. Selama ini, dia selalu bersandar pada pertolongan manusia seperti Akbar, dan belum berupaya untuk pasrah dan menyandarkan pada pertolongan Allah. Segera Pak Rosyid mencari-cari masjid terdekat. Dia teringat ada masjid Patok Negara di Ploso Kuning tidak dekat dari tempat itu, dan segera Pak Rosyid menuju kesana.
Suasana masjid sepi ketika Pak Rosyid sampai. Sebuah masjid tua yang bersejarah untuk wilayah Yogyakarta. Dia segera mencari tempat wudhu dan kemudian segera berwudhu. Keraguan sedikit menyeruak dalam hatinya ketika membuka pintu masjid yang tertutup rapat. Tidak ada satupun orang di sana. Hatinya coba dikuat-kuatkan untuk masuk dan mencari pertolongan Allah. Segera dia sholat dhuha 8 rakaat dan kemudian ditutup dengan 3 rakaat sholat witir. Selesai sholat, ditengadahkan kedua tangannya ke atas dengan penuh pengharapan, dan meluncurlah dari mulutnya puji-pujian untuk Allah dan doa-doa yang tulus dari hati. Pak Rosyid tidak tahu doa untuk permintaannya, maka dia berdoa dalam bahasa Indonesia. Baginya Allah Maha Tahu, sehingga tidak menjadi masalah berdoa dalam bahasa yang dikenalnya.
“Ya Allah, mudahkanlah hamba dalam mendapatkan uang dalam waktu dekat untuk biaya kuliah dan sekolah anak-anak hamba”.
“Berilah jalan kepada hamba ya Allah, karena hamba sudah kehabisan jalan untuk mendapatkan uang dalam waktu dekat”.
“Ya Allah, sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Memberi Rizki”.
“Hanya kepada-Mu aku memohon dan hanya kepada-Mu aku mohon pertolongan”. “Aamiin”.
Setelah selesai berdoa, hati Pak Rosyid terasa lapang, seolah bebannya menjadi jauh lebih ringan. Kemudian dia duduk-duduk di serambi masjid, untuk istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Tubuhnya yang penat disenderkan ke tembok mesjid. Sebuah kotak amal yang cukup besar berada di sebelahnya dan berbatasan dengan pintu utama masjid. Suasana yang asri dari sekeliling masjid yang banyak pepohonan dan semilir angin sepoi-sepoi, membuat Pak Rosyi terkantuk-kantuk. Diapun kemudian merapat ke kotak amal dan menyandarkan bahu kanannya ke kotak amal tersebut, agar posisinya menjadi lebih nyaman lagi.
 Tanpa Pak Rosyid sadari seorang pemuda dengan menaiki sepeda berhenti di depan masjid dan mengamatinya yang sedang bersandar di tembok dan kotak amal, dan kemudian pemuda tersebut kemudian buru-buru pergi. Tak lama kemudian pemuda itu datang lagi dengan membawa tiga orang temannya. Keempat pemuda tersebut kemudian mendekati Pak Rosyid dan berdiri depannya.
“Arep nyolong ya ...?” bentak salah seorang pemuda.
“Hoo, mesti iki arep nyolong” sahut pemuda di sebelahnya.
“Kulo boten ajeng nyolong mas”.
“Kulo bar mawon sholat dhuha, trus leren sekedap teng ngriki”.
“Kulo bibar teng gene pak Akbar teng Perumahan Minomartani ngriku, njuk kepengin dhuha mas”.
“Kulo leren sekedap ajeng mantuk teng Kasihan Bantul”.
“Saestu mas, boten ngapusi” jawab Rosyid berusaha menjelaskan.
“Halah, ora ana maling sing gelem ngaku”.
“Nek maling ngaku, teneh penjara kebak” kata salah seorang pemuda.
“Wis gawa neng gone Pak RT wae, nek ra gawa neng kantor Polisi sisan” sahut pemuda lainnya.
Seorang lelaki setengah tua yang sedang mengurus tanaman di rumah sebelah masjid, terlihat melihat ke arah masjid. Dia terlihat ingin tahu apa yang sedang terjadi, dan kemudian berjalan perlahan mendekati masjid.
“Ada apa ini, mas Topan, mas Ardi”, kata laki-laki tersebut.
Keempat pemuda tersebut kemudian menolah ke arah lelaki yang baru datang.
“Ini pak Burhan, ada orang yang mencurigakan”.
“Dia tadi megang-megang kotak amal, padahal tidak ada orang lain, makanya kita jadi curiga dia mau nyolong kotak amal”.
“Pak Burhan khan juga tahu, kalau beberapa bulan lalu, kotak amal juga dibongkar orang dan diambil duitnya” Jawab pemuda yang dipanggil Topan.
“Demi Allah pak, saya tidak berniat mencuri”.
“Saya baru dari rumahnya Pak Akbar di Perumahan Minomartani, dan sebelum pulang ke rumah saya di Kasihan Bantul, tiba-tiba saya ingin sholat Dhuha”.
“Ini tadi saya agak kecapekan sehingga mau istirahat sebentar”.
“Saya agak ngantuk makanya saya sandaran, saya mepet kotak amal ini, juga biar nyaman saja pak”.
“Tiba-tiba mas-masnya ini datang trus nuduh saya mau mencuri” Jawab Rosyid menerangkan sambil melihat ke arah pak Burhan.
“Sepertinya ini hanya kesalahpahaman”.
“Saya tadi melihat kok bapaknya ini masuk dan kemudian wudhu, lalu masuk ke dalam masjid”.
“Tapi setelah itu saya tidak memperhatikan lagi”.
“Kebetulan saya lagi ngurusi bunga, motong-motongi akarnya dan mengganti medianya”.
“Tapi saya lihat dari awal memang tidak ada gerak-gerik yang mencurigakan”Kata pak Burhan menerangkan.
“Tapi tadi tangannya sudah di atas kotak amal pak Burhan” bantah Topan.
“Kalau hanya tangan di atas kotak amal tidak bisa dijadikan dasar kalau bapak ini mau mencuri”.
“Khan tidak ada gerak-geriknya yang menunjukkan bukti kalau dia mau membongkar kotak amal ?”.
“Sudah kita habiskan persoalan ini sampai di sini saja”.
“Saya percaya dengan bapak ini, dan saya akan tanggung jawab kalau ada jamaah yang mempertanyakan masalah ini”.
“Nanti kita bisa juga melihat rekaman CCTV, tapi saya yakin bapak ini tidak salah”.
“Ayo pak, istirahatnya di rumah saya saja” kata pak Burhan sambil mengajak Pak Rosyid untuk ke rumahnya.
Para pemuda kemudian bubar. Topan walaupun dengan muka agak masam juga pergi ke arah yang berbeda dengan ketiga temannya.
Pak Burhan kemudian mengajak Pak Rosyid ke rumahnya yang tepat di sebelah masjid. Sebuah rumah yang asri dengan taman bunga di depan rumah.
‘Bapak namannya siapa? Saya Burhan” kata pak Burhan setelah mereka duduk di kursi tamu yang besar. Sebuah kursi kayu dari Jepara yang cukup mewah. “Nama saya Rosyid pak” jawab Pak Rosyid.
“Maaf ya pak kalau tadi pemuda sini nuduh bapak mau mencuri”.
“Mereka mungkin trauma karena sudah dua kali kotak amal masjid dibongkar maling”.
“Kejadian terakhir baru beberapa bulan lalu” kata pak Burhan.
“Ya gak papa pak, mungkin sudah nasib saya pak, dituduh maling” Jawab Pak Rosyid sambil tersenyum kecut.
Tiba-tiba Pak Rosyid tertarik dengan dua buah boks CPU komputer di pojok ruang tamu di sebelah kursi yang diduduki pak Burhan.
“Baru beli CPU pak? Tanya Pak Rosyid.
“Ya, ini untuk dikirim ke Maluku Utara, adik saya yang pesan” jawab pak Burhan.
“Lain kali, kalau butuh komputer, hubungi saya saja pak”.
“Kebetulan saya bekerja di distributor komputer pak”.
“Memang tempat saya kerja tidak menjual ke person, hanya ke dealer komputer, tapi kalau cuma satu dua, saya bisa usahakan pak, harganya bisa jauh lebih murah daripada kalau bapak beli di dealer komputer” kata Pak Rosyid sambil mengambil dan menyerahkan kartu nama.
“Bener pak?, wah ini kebetulan sekali”.
“Mungkin ini skenario Allah biar kita bertemu sehingga bisa kerja sama”.
“Mari pak ke ruang dalam saja, biar ngobrolnya bisa lebih santai dan bisa saya jelaskan maksud saya untuk bekerja sama”.
“Kebetulan saya di rumah sendiri, istri saya dan anak-anak lagi ke rumah mertua di Solo dari kemarin”.
“Saya baru akan menyusul nanti sore” jawab Pak Burhan antusias.
Pak Burhan kemudian mendahului ke ruang dalam dan kemudian mempersilahkan Pak Rosyid untuk duduk. Sebuah ruang keluarga yang besar dan cukup mewah. Sebuah TV Plasma terlihat ada di atas meja besar dan berukir. Terlihat ada tiga kamar yang tertutup rapat, dan ada suatu lorong yang menuju ke ruangan di belakang. Dua set sofa besar ada di ruangan tersebut. Di salah satu sudut ruangan sebelah TV terdapat beberapa boks CPU, monitor LED, dan juga keyboard dan mouse. Setelah mempersilahkan duduk, pak Burhan kemudian berjalan ke bagian belakang ruang keluarga. Setelah beberapa saat, pak Burhan kembali dengan membawa nampan berisi dua gelas kopi dalam mug.
“Mari, silahkan diminum pak, biar lebih seger” kata pak Burhan.
“Terima kasih pak” sahut pak Rosyid.
“Gini pak, adik saya kebetulan mendapatkan beberapa proyek pengadaan komputer di beberapa kabupaten di Provinsi Maluku Utara”.
“Totalnya ada 140 unit komputer dan 4 server”.
“Kita kerjasama, jadi saya yang bertugas untuk mengadakan komputernya termasuk pengirimannya”.
“Ini kemarin saya dapat, tapi kayaknya masih agak ketinggian, agak mepet”.
“Jadi kalau bisa saya cari yang lebih murah lagi”.
“Adik saya ngasih plafond harganya sampai sana, dan sisanya itu jadi keuntungan saya” kata pak Burhan menerangkan. 
Pak Burhan kemudian mengambil laptop yang ada di atas meja di sebelah TV, dan kemudian meletakkan di meja tamu dan menghidupkannya. Selanjutnya, pak Burhan membuka email dari adiknya.
“Ini email Surat Perintah Kerja (SPK) dari adik saya”.
“Di sini ada penjelasan mengenai spesifikasi dari komputer dan jumlahnya”.
“Ada 5 spesifikasi komputernya dan jumlahnya juga berbeda”.
“Kemudian ini ada 4 server, dan ada 2 spesifikasi untuk server itu”.
“Di sebelah kanan itu harganya”.
“Sebenarnya, adik saya mengajukan harga penawaran itu atas saran saya”
“Saya sudah survey sebelumnya di dealer-dealer komputer di Jogja dan dapat murah di salah satu dealer di daerah Papringan”.
“Perhitungan saya, tiap item bisa untung minimal 30% bahkan lebih”.
“Tapi ternyata harga sekarang naik cukup banyak karena naiknya dolar”.
“Sebenarnya sudah saya perhitungkan kenaikan dolar tapi kenaikanya di atas prediksi saya”.
“Belum lagi kenaikan harga paket yang cukup tinggi karena kenaikan harga bagasi pesawat”.
“Satu lagi yang membuat saya bingung, ternyata dealer komputer yang di papringan itu mengoplos komponennya, sebagian itu bekas, dan mereka hanya mau garansi 3 bulan saja”.
“Saya agak ragu dengan garansi yang hanya 3 bulan, walaupun saya sudah siapkan 10 unit komputer untuk penggantian kalau ada yang rusak, dan sudah diperhitungkan juga pada saat penentuan harga”.
“Maunya untung malah jadi buntung, dengan kondisi sekarang, tipis banget untungnya malah berpotensi rugi kalau ada kerusakan komputer di perjalanan” kata pak Burhan mengakhiri penjelasannya sambil tersenyum kecut.
Pak Rosyid kemudian memeriksa spesifikasi dan harga di SPK. “Wah ini harganya tinggi banget”. “Tapi barangkali selain biaya pengiriman juga untuk pihak-pihak lain yang terlibat sehingga harganya jadi segini” kata pak Rosyid dalam hati.
“Bisa saya lihat nota dari komputer yang sudah dibeli” tanya pak Rosyid.
Pak Burhan kemudian mengambil nota yang disimpan di sebuah meja di sudut ruangan, dan diserahkan ke pak Rosyid.
“Ini nota dari dealer yang di Papringan, selisihnya gak banyak dengan harga jadi di SPK”.
“Untungnya baru beli 5 unit, kalau sudah beli banyak wah rugi saya” kata pak Burhan.
Pak Rosyid melihat nota tersebut dan sedikit terkejut. Selama ini dia hanya mengantar pesanan komponen dan komputer yang dipesan dealer komputer. Tidak pernah dia mau tahu berapa komponen atau komputer itu dijual kembali oleh dealer kepada konsumen. Sekarang baru tahu ternyata selisihnya cukup besar.
“Saya bisa mengusahakan harga yang selisihnya cukup besar dengan harga yang dikasihkan dealer”.
“Kalau langsung ngambil dari tempat saya, bisa jauh lebih murah karena kita itu distributor”.
“Sebenarnya, kita tidak menjual ke perorangan dan hanya menjual ke dealer komputer saja, tapi karena ini cukup besar nanti saya lobby ke bos” kata pak Rosyid.
“Alhamdulillah ya Allah, ternyata memang Allah sudah mengatur pertemuan kita”.
“Doa-doa saya ternyata dikabulkan”.
“Sudah seminggu ini saya rutin tahajud dan wirid setiap malam”.
“Hari ini Allah menjawab doa saya”.
Pak Burhan kemudian terlihat sedikit mendongakkan kepalanya ke atas dan menengadahkan tangannya. Mulutnya berkemak-kemik membaca doa, dan kemudian mengusap mukanya. Setelah itu dia terlihat menghela nafas panjang, dan kemudian menengok kembali ke arah pak Rosyid.
“O ya, tadi dari mana pak ? kok terus sholat dhuha di mesjid sini?” tanya pak Burhan memecah keheningan.
“Saya salut, kayaknya bapak sudah terbiasa sholat dhuha ya ...”
“Sebenarnya tidak terbiasa juga sih, karena saya lagi ada masalah, makanya saya lebih rajin sholat sunah” jawab pak Rosyid malu-malu.
“Kalau boleh tahu, pak Rosyid lagi ada masalah apa ?” tanya pak Burhan.
Pak Rosyid lalu bercerita mengenai kesulitan keuangan yang sedang menimpanya. Mulai dari musibah yang menimpanya akhir-akhir ini dan membuatnya mengalami masalah keuangan, ditambah lagi dengan kedua anaknya yang membutuhkan biaya untuk studinya. Diceritakan juga mengenai usahanya yang gagal untuk meminjam uang dari teman baiknya di Perumahan Minomartani, karena temannya juga sedang dalam masalah keuangan. “Begitulah pak, karena capek dan banyak pikiran, saya ingin mengadu ke Allah dengan cara sholat Dhuha”. “Kebetulan saya ingat ada masjid patok negara di Ploso Kuning ini, sehingga saya mampir untuk sholat dhuha”. “Selepas sholat, saya duduk-duduk di serambi, dan karena suasana yang sejuk dan angin sepoi-sepoi, saya agak  mengantuk, sehingga menyenderkan bahu ke kotak amal”. “Mas-mas tadi itu tiba-tiba datang, langsung marah-marah dan nuduh saya mau mencuri kotak amal” kata pak Rosyid menjelaskan.
Pak Burhan menghela nafas panjang setelah pak Rosyid menceritakan masalahnya.
“Mungkin sudah jalannya Allah mempertemukan kita, sehingga bisa saling menolong”.
“Pak Rosyid menolong saya menyediakan sejumlah komputer dengan spesifikasi seperti di SPK, dan nanti saya kasih 5%”
“Itu sudah jauh lebih besar dari yang pak Rosyid butuhkan, dan besok Senin setelah dapat ada kepastian, saya akan transfer untuk pak Rosyid 10 juta, sisanya kalau nanti barangnya sudah siap”. Kata pak Burhan.
Pak Rosyid kemudian turun dari kursi dan jongkok dan memegang tangan pak Burhan. Terlihat setetes air mata turun di pipi.
“Terima kasih sekali pak”.
“Semoga Allah membalas semua kebaikan bapak ini, dengan rizki dan keberkahan untuk bapak dan keluarga” kata pak Rosyid. 
Pak Burhan buru-buru mendirikan pak Rosyid.
“Jangan seperti itu pak, saya gak enak”.
“Kita itu saling menolong pak”.
“Kalau saya mau berikan bapak 10 juta di awal, itu khan hanya semacam DP saja karena bapak juga akan mengusahakan saya komputer dengan harga yang lebih murah”.
“Jadi saya merasa tidak menolong bapak” kata pak Burhan.
“Jadi gimana pak, kapan saya bisa ke kantor bapak untuk dapat kepastian?”. 
“O ya, kantornya alamatnya mana pak?” tanya Pak Burhan lagi.
“Insya Allah besok pak”.
”Saya akan bicara dulu sama bos, nanti saya kabari dan kita bisa ketemu di kantor untuk bicara lebih detil sama bos”.
“Insya Allah bos gak masalah karena ini proyek besar”.
“Besok saya kirim map saja lewat Whatsapp biar lebih enak nyarinya pak”.
“Kantor saya di jalan Kwarasan, nanti kalau sudah dekat  Whatsapp saja, nanti saya tunggu depan kantor”.
“Kantor saya tidak ada papan namanya, hanya seperti rumah biasa, jadi biar gak bingung saya tunggu di depan kantor” kata pak Rosyid.
“Ok pak kalau begitu, coba cek pak tadi saya whatsapp, itu nomor saya” kata pak Burhan.
Selanjutnya obrolan berlanjut dengan membicarakan masalah yang lain, mulai masalah keluarga sampai masalah pekerjaan, bahkan politik. Pak Rosyid terlihat sangat gembira. Beban masalahnya telah lepas, sehingga dia bisa tersenyum dan tertawa dengan lepas. Setelah beberapa saat kemudian, pak Rosyid pamit untuk pulang. Pak Burhan mengantar sampai depan rumah.
“Sampai ketemu besok pak Rosyid kata pak Burhan.
“Ya pak, mudah-mudahan ini jadi momen untuk persaudaraan kita pak” jawab pak Rosyid.
“Insya Allah pak” timpal pak Burhan.
Pak Rosyid kemudian memacu motornya sedikit agak ngebut. Perasaannya telah plong karena permasalahannya mulai terpecahkan. Dia sudah tidak sabar untuk sampai rumah dan menceritakan semuanya kepada anak dan istrinya. Pasti istri dan anaknya akan senang mendengar dia mendapatkan proyek besar dan dapat membayar biaya studi anak-anaknya. Sepanjang perjalanan ke rumah, tidak henti-hentinya pak Rosyid bertasbih dan mengagungkan nama-Nya. “Ujian dari Allah memang indah” kata Pak Rosyid dalam hati.

Berbagi Informasi
Berbagi Informasi Updated at: Kamis, Januari 16, 2020

1 komentar:

  1. Ikut nyimak gan...
    Mengharukan...
    Makasih...
    Salm dari Jakarta selatan....

    BalasHapus

Terima Kasih Atas Kunjungannya
Harap berkomentar yang santun
dan tidak ada unsur SARA dan pornografi
Maaf, komentar dengan link aktif akan dihapus