Pak Rosyid duduk diam di kursi teras
rumahnya, sambil menghisap Gudang Garam rokok kesukaannya. Pandangannya lurus
menatap rimbunnya pepohonan di depan rumah, menembus pekatnya pagi. Sesekali
dia melihat ke arah jam dinding melalui sela-sela jendela. Dia menunggu waktu
subuh tiba. Genap sepuluh hari, dia bangun jam 3.00 Pagi dan sholat tahajud,
dan kemudian duduk di teras rumahnya sambil merokok, menunggu waktu subuh. Sesekali
dia menghela napas panjang. Keresahan jelas terbayang di raut wajahnya. “Apakah
Allah akan menerima tahajudku ?”. Malu rasanya dia memikirkan hal itu. Selama
ini, bahkan sholat lima waktu masih bolong-bolong. Begitu mendapatkan masalah, baru
teringat padaNya, meminta dan memohon-mohon agar diberikan jalan mengatasi
masalahnya.
Pak Rosyid menghisap rokoknya
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Pikirannya melayang-layang
memikirkan banyaknya musibah menimpanya akhir-akhir ini. Dua bulan lalu, di
Jalan Godean, dia menabrak mobil yang sedang parkir karena menghindari anak
kecil yang tiba-tiba memotong jalan. Dua minggu kemudian, dia kecopetan di
Pasar Beringharjo saat mau membelikan hadiah untuk istrinya yang ulang tahun.
Seluruh uang gaji yang baru diterimanya hilang dicopet. Hari-hari berikutnya,
berbagai musibah masih menimpanya, dari mulai file kerjaan yang hilang sehingga
harus mengerjakan ulang, ban motor yang bocor beberapa kali, dimarahi bos, dan
masih banyak lagi.
Hutangnya sudah menumpuk di
kantor, padahal anak sulungnya masih harus membayar uang kuliah dan anaknya
yang lain baru masuk SMA dan harus membayar uang sekolah. Lebih dari 6 juta
harus segera dikeluarkannya dalam minggu ini. Tidak mungkin lagi dia meminjam
dari kantor, karena baru bulan lalu meminjam uang di kantor. Jalan satu-satunya
yang terpikirkan adalah dengan meminjam dari teman. Pak Rosyid tiba-tiba
teringat dengan Akbar teman semasa di SMK Jetis dulu yang sekarang sudah cukup
sukses sebagai kontraktor.
“Jalan satu-satunya aku harus pinjam dari Akbar,
mudah-mudahan dia bisa menolongku seperti dulu aku menolongnya ketika dikeroyok
geng motor”.
“Aku harus segera ke rumahnya pagi ini, agar bisa
ketemu”, kata Pak Rosyid dalam hati. Hatinya tenang karena telah mempunyai
jalan keluar dari masalahnya.
Setelah sholat subuh dan
makan ubi rebus yang dibeli istrinya di warung, Pak Rosyid berangkat ke rumah temannya.
Rumah temannya di Perumahan Minomartani Ngaglik Sleman, cukup jauh dari
rumahnya di Kasihan, Bantul. Saat itu masih Pukul 05.30, jalanan masih sepi
karena ini hari Minggu sehingga sebagian besar masyarakat belum beraktivitas.
Hanya ditemui beberapa rombongan sepeda yang berbaris rapi dengan menggunakan
seragam, dan beberapa penjual sayuran yang terburu-buru ke pasar karena hari
mulai siang. Dia memacu skutik Beat dengan kecepatan sedang, dia tidak
terburu-buru.
Hampir jam 7.00 dia sampai
rumah temannya di perumahan Minomartani. Sebuah rumah dua lantai di jalan utama
yang cukup megah. Pohon mangga Arumanis di halaman depan rumah, menambah asri
rumah tersebut. Pak Rosyid kemudian mengetok-ketok pintu pagar rumah dengan
kunci skutiknya. Sesosok tubuh mungil dengan rambut sebahu, muncul dari pintu
garasi, menghampiri pintu pagar.
“Oh
mas Rosyid, tumben pagi-pagi sudah datang ? mari silahkan masuk, mas Akbar ada
di halaman belakang, lagi baca koran” kata wanita yang merupakan Istri temannya
sambil membuka pintu pagar. “
Iya
Yun, ada perlu sedikit sama Akbar” jawab Pak Rosyid. “
Monggo
silahkan, langsung ke belakang saja mas” kata Yuni sambil tersenyum.
Temannya itu sedang asyik
membaca koran di teras belakang rumah ketika Pak Rosyid datang menghampirinya.
‘Assalamu’alaikum
warrohmatullahi wabaraokatuh”, Pak Rosyid mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam
warrohmatullahi wabaraokatuh”, jawab Pak Akbar sambil menoleh dan meletakkan
koran ke atas meja.
“Eh
Kamu Sid, apa kabar? kok tumben pagi-pagi sudah datang ke rumah” kata Pak Akbar
sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
“Duduk
Sid, monggo ...” kata Akbar lagi dengan logat Batak yang masih kental, sambil
mempersilahkan pak Rosyid untuk duduk di bangku satunya. Sahabat Pak Rosyid ini
memang orang batak dan baru pindah ke Yogya pada waktu SMA.
Pak Akbar mengambil rokok
Sampoerna Mild yang ada di atas meja dan kemudian menyalakannya.
“Rokok
Sid” Pak Akbar menawarkan.
Pak Rosyid kemudian tanpa
malu mengambil sebatang rokok yang ditawarkan, menyalakan dan menghisap
dalam-dalam. Asap tebal mengepul ketika dia menghembuskannya.
“Ada
apa nih Sid, jam segini sudah sampai sini?, apa ada yang penting?” Akbar bertanya memecah keheningan.
Pak Rosyid tidak segera
menjawab dan menghisap rokoknya lagi dan kemudian mengembuskannya dengan kuat.
“Terus terang Bar, aku lagi dalam kesulitan masalah
keuangan” jawab Pak Rosyid.
Kemudian diceritakannya
mengenai musibah yang beberapa waktu ini sering menimpanya sehingga membuatnya
banyak hutang di kantor. Diceritakan juga masalah kedua anaknya yang
membutuhkan biaya. Anak sulungnya harus membayar biaya kuliah, sementara anak
yang satu lagi harus membayar biaya sekolah karena baru masuk SMA.
“Jadi,
aku datang ke sini untuk minta tolong sama kamu, barangkali kamu bisa meminjami
aku uang”.
“Aku
sudah bingung mau minta tolong siapa?, kamu harapan aku satu-satunya” kata Pak Rosyid
mengakhiri ceritanya.
Pak Akbar termenung
mendengar cerita Pak Rosyid. Dihisapnya rokoknya dalam-dalam dan dihembuskan
perlahan-lahan.
“Aku
turut prihatin mendengar ceritamu Sid”.
“Aku
bingung harus ngomong apa?
“Kamu
sahabat paling dekat yang sudah kuanggap keluarga”.
“Kamu
juga pernah nolong aku saat aku dikeroyok geng motor dulu”.
“Terus
terang, aku pengin sekali menolong kamu, tapi aku sendiri juga lagi ada masalah
keuangan”.
“Aku
baru ditipu orang Sid” kata Pak Akbar.
Kemudian Pak Akbar
menceritakan permasalahannya, kalau dia diajak kerja sama salah satu rekanan
bisnisnya untuk mendirikan semacam resto. Rekan bisnisnya tersebut mengatakan mempunyai
lahan di daerah Kalasan seluas 5 hektar, dan telah mengajaknya meninjau lokasi.
Lahan tersebut masih ditumbuhi banyak pohon Jati dan tanaman yang lain. Di
beberapa bagian juga ada lubang-lubang bekas galian tanah. Menurut rekannya,
lubang itu adalah bekas galian tanah untuk dipergunakan membuat batu bata. Singkatnya,
rekannya itu mengajak membuat resto di mana rekannya menyediakan tanah dan dia
menyediakan permodalan untuk mempersiapkan lahan, membangun sarana dan
prasarana, serta biaya operasional. Setelah dihitung bersama, maka untuk semua
itu dibutuhkan dana sebesar 1 milyar.
“Aku
sudah menyerahkan dana ke dia 1 milyar Sid, ternyata dia itu nipu aku”.
“Tanah
yang ditunjukkan itu milik saudara istrinya”.
“Dia
hanya diminta untuk menjualkan”.
“Sudah
1 bulan lebih ini dia menghilang”.
“Ternyata dia banyak hutang, dan banyak yang mencarinya
untuk menagih hutang”.
“Sekarang
aku jadi kekurangan uang, karena beberapa proyekku belum keluar terminnya, dan
baru bulan depan keluarnya” kata Pak Akbar
mengakhiri ceritanya.
Suasana menjadi hening
ketika Pak Akbar selesai menceritakan permasalahannya. Lemas rasanya Pak Rosyid
mendengar cerita Pak Akbar. “Hancur sudah harapanku mendapatkan uang untuk
keperluan anak-anakku”. “Aku gak enak kalau harus menambah beban Akbar” kata Pak
Rosyid dalam hati.
Kesunyian kemudian terhenti
dengan datangnya Istri Pak Akbar yang mengantarkan segelas kopi hitam kesukaan Pak
Rosyid. Setelah mempersilahkan untuk minum kopi, istri pak Akbar kembali masuk
ke dalam untuk melanjutkan aktivitasnya di dalam rumah.
“Gini
saja Sid, kamu hutang dulu ke temanmu atau ke siapa, bulan depan kalau aku
sudah dapat duit, aku ganti, aku kasih, gak usah hutang, aku ikhlas” kata Pak Akbar
memecah keheningan.
“Masalahnya
aku harus bayar uang kuliah anakku Rizki dan juga uang sekolah Nisa minggu
ini”.
“Aku
sudah coba cari pinjaman ke yang lain, tapi gak ada yang punya”. “Harapanku
tinggal kamu Bar”.
“Tapi
aku juga ngerti posisimu sekarang”.
“Nanti
aku coba lagi deh cari pinjaman dari temanku yang lain” jawab Pak Rosyid lemas.
“Aku
benar-benar minta maaf Sid”.
“Aku
benar-benar tidak bisa menolong kamu”.
“Rasanya
malu aku Sid, sebagai teman tidak bisa menolong kamu yang lagi kesulitan”. kata
Pak Akbar sambil mematikan rokoknya yang sudah habis di asbak.
Pembicaraan selanjutnya
beralih ke hal-hal lain. Mereka bercerita tentang masa lalu yang telah mereka
lalui bersama. Apa yang diobrolkan sudah tidak menarik lagi bagi Pak Rosyid
karena kegundahan dan kebingungannya mencari cara untuk mencari uang dalam
waktu dekat. Pak Rosyid hanya menjadi pendengar cerita-cerita Pak Akbar, sampai
kemudian istri pak Akbar menawarkan untuk makan pagi bersama-sama. Mereka pun
makan bersama-sama di meja makan yang cukup besar dan mewah. Sayur kentang dan
opor ayam serta krupuk yang biasanya merupakan makanan favorit, dirasakan
hambar oleh Pak Rosyid. Pikirannya tidak bisa lepas dari mencari cara
mendapatkan uang untuk biaya kuliah dan sekolah anak-anaknya.
Setelah selesai makan, Pak Rosyid
kemudian pamit untuk pulang. Waktu itu sudah pukul 8.30 WIB. Di perjalanan
pulang, pikirannya terus melayang-layang. Dia bingung memikirkan jawaban kalau
ditanya masalah uang kuliah dan uang sekolah anak-anaknya. Tiba-tiba sebuah
kesadaran menyeruak dalam pikirannya, untuk meminta kepada Allah dengan sholat
Dhuha. Selama ini, dia selalu bersandar pada pertolongan manusia seperti Akbar,
dan belum berupaya untuk pasrah dan menyandarkan pada pertolongan Allah. Segera
Pak Rosyid mencari-cari masjid terdekat. Dia teringat ada masjid Patok Negara
di Ploso Kuning tidak dekat dari tempat itu, dan segera Pak Rosyid menuju
kesana.
Suasana masjid sepi ketika Pak
Rosyid sampai. Sebuah masjid tua yang bersejarah untuk wilayah Yogyakarta. Dia
segera mencari tempat wudhu dan kemudian segera berwudhu. Keraguan sedikit
menyeruak dalam hatinya ketika membuka pintu masjid yang tertutup rapat. Tidak
ada satupun orang di sana. Hatinya coba dikuat-kuatkan untuk masuk dan mencari
pertolongan Allah. Segera dia sholat dhuha 8 rakaat dan kemudian ditutup dengan
3 rakaat sholat witir. Selesai sholat, ditengadahkan kedua tangannya ke atas
dengan penuh pengharapan, dan meluncurlah dari mulutnya puji-pujian untuk Allah
dan doa-doa yang tulus dari hati. Pak Rosyid tidak tahu doa untuk
permintaannya, maka dia berdoa dalam bahasa Indonesia. Baginya Allah Maha Tahu,
sehingga tidak menjadi masalah berdoa dalam bahasa yang dikenalnya.
“Ya
Allah, mudahkanlah hamba dalam mendapatkan uang dalam waktu dekat untuk biaya
kuliah dan sekolah anak-anak hamba”.
“Berilah
jalan kepada hamba ya Allah, karena hamba sudah kehabisan jalan untuk
mendapatkan uang dalam waktu dekat”.
“Ya
Allah, sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Memberi Rizki”.
“Hanya
kepada-Mu aku memohon dan hanya kepada-Mu aku mohon pertolongan”. “Aamiin”.
Setelah selesai berdoa,
hati Pak Rosyid terasa lapang, seolah bebannya menjadi jauh lebih ringan.
Kemudian dia duduk-duduk di serambi masjid, untuk istirahat sejenak sebelum
melanjutkan perjalanan pulang. Tubuhnya yang penat disenderkan ke tembok
mesjid. Sebuah kotak amal yang cukup besar berada di sebelahnya dan berbatasan
dengan pintu utama masjid. Suasana yang asri dari sekeliling masjid yang banyak
pepohonan dan semilir angin sepoi-sepoi, membuat Pak Rosyi terkantuk-kantuk. Diapun
kemudian merapat ke kotak amal dan menyandarkan bahu kanannya ke kotak amal
tersebut, agar posisinya menjadi lebih nyaman lagi.
Tanpa Pak Rosyid sadari seorang pemuda dengan
menaiki sepeda berhenti di depan masjid dan mengamatinya yang sedang bersandar
di tembok dan kotak amal, dan kemudian pemuda tersebut kemudian buru-buru
pergi. Tak lama kemudian pemuda itu datang lagi dengan membawa tiga orang
temannya. Keempat pemuda tersebut kemudian mendekati Pak Rosyid dan berdiri
depannya.
“Arep nyolong ya ...?”
bentak salah seorang pemuda.
“Hoo, mesti iki arep
nyolong” sahut pemuda di sebelahnya.
“Kulo boten ajeng nyolong
mas”.
“Kulo bar mawon sholat
dhuha, trus leren sekedap teng ngriki”.
“Kulo
bibar teng gene pak Akbar teng Perumahan Minomartani ngriku, njuk kepengin
dhuha mas”.
“Kulo
leren sekedap ajeng mantuk teng Kasihan Bantul”.
“Saestu
mas, boten ngapusi” jawab Rosyid berusaha menjelaskan.
“Halah,
ora ana maling sing gelem ngaku”.
“Nek
maling ngaku, teneh penjara kebak” kata salah seorang pemuda.
“Wis
gawa neng gone Pak RT wae, nek ra gawa neng kantor Polisi sisan” sahut pemuda
lainnya.
Seorang lelaki setengah tua
yang sedang mengurus tanaman di rumah sebelah masjid, terlihat melihat ke arah
masjid. Dia terlihat ingin tahu apa yang sedang terjadi, dan kemudian berjalan
perlahan mendekati masjid.
“Ada apa ini, mas Topan,
mas Ardi”, kata laki-laki tersebut.
Keempat pemuda tersebut
kemudian menolah ke arah lelaki yang baru datang.
“Ini
pak Burhan, ada orang yang mencurigakan”.
“Dia
tadi megang-megang kotak amal, padahal tidak ada orang lain, makanya kita jadi
curiga dia mau nyolong kotak amal”.
“Pak
Burhan khan juga tahu, kalau beberapa bulan lalu, kotak amal juga dibongkar
orang dan diambil duitnya” Jawab pemuda yang dipanggil Topan.
“Demi
Allah pak, saya tidak berniat mencuri”.
“Saya
baru dari rumahnya Pak Akbar di Perumahan Minomartani, dan sebelum pulang ke
rumah saya di Kasihan Bantul, tiba-tiba saya ingin sholat Dhuha”.
“Ini
tadi saya agak kecapekan sehingga mau istirahat sebentar”.
“Saya
agak ngantuk makanya saya sandaran, saya mepet kotak amal ini, juga biar nyaman
saja pak”.
“Tiba-tiba
mas-masnya ini datang trus nuduh saya mau mencuri” Jawab Rosyid menerangkan
sambil melihat ke arah pak Burhan.
“Sepertinya
ini hanya kesalahpahaman”.
“Saya
tadi melihat kok bapaknya ini masuk dan kemudian wudhu, lalu masuk ke dalam
masjid”.
“Tapi
setelah itu saya tidak memperhatikan lagi”.
“Kebetulan
saya lagi ngurusi bunga, motong-motongi akarnya dan mengganti medianya”.
“Tapi
saya lihat dari awal memang tidak ada gerak-gerik yang mencurigakan”Kata pak
Burhan menerangkan.
“Tapi
tadi tangannya sudah di atas kotak amal pak Burhan” bantah Topan.
“Kalau
hanya tangan di atas kotak amal tidak bisa dijadikan dasar kalau bapak ini mau
mencuri”.
“Khan
tidak ada gerak-geriknya yang menunjukkan bukti kalau dia mau membongkar kotak
amal ?”.
“Sudah
kita habiskan persoalan ini sampai di sini saja”.
“Saya
percaya dengan bapak ini, dan saya akan tanggung jawab kalau ada jamaah yang
mempertanyakan masalah ini”.
“Nanti
kita bisa juga melihat rekaman CCTV, tapi saya yakin bapak ini tidak salah”.
“Ayo
pak, istirahatnya di rumah saya saja” kata pak Burhan sambil mengajak Pak Rosyid
untuk ke rumahnya.
Para pemuda kemudian bubar.
Topan walaupun dengan muka agak masam juga pergi ke arah yang berbeda dengan
ketiga temannya.
Pak Burhan kemudian
mengajak Pak Rosyid ke rumahnya yang tepat di sebelah masjid. Sebuah rumah yang
asri dengan taman bunga di depan rumah.
‘Bapak namannya siapa? Saya
Burhan” kata pak Burhan setelah mereka duduk di kursi tamu yang besar. Sebuah
kursi kayu dari Jepara yang cukup mewah. “Nama saya Rosyid pak” jawab Pak Rosyid.
“Maaf
ya pak kalau tadi pemuda sini nuduh bapak mau mencuri”.
“Mereka
mungkin trauma karena sudah dua kali kotak amal masjid dibongkar maling”.
“Kejadian
terakhir baru beberapa bulan lalu” kata pak Burhan.
“Ya
gak papa pak, mungkin sudah nasib saya pak, dituduh maling” Jawab Pak Rosyid
sambil tersenyum kecut.
Tiba-tiba Pak Rosyid
tertarik dengan dua buah boks CPU komputer di pojok ruang tamu di sebelah kursi
yang diduduki pak Burhan.
“Baru beli CPU pak? Tanya Pak
Rosyid.
“Ya,
ini untuk dikirim ke Maluku Utara, adik saya yang pesan” jawab pak Burhan.
“Lain
kali, kalau butuh komputer, hubungi saya saja pak”.
“Kebetulan
saya bekerja di distributor komputer pak”.
“Memang
tempat saya kerja tidak menjual ke person, hanya ke dealer komputer, tapi kalau
cuma satu dua, saya bisa usahakan pak, harganya bisa jauh lebih murah daripada
kalau bapak beli di dealer komputer” kata Pak Rosyid sambil mengambil dan
menyerahkan kartu nama.
“Bener
pak?, wah ini kebetulan sekali”.
“Mungkin
ini skenario Allah biar kita bertemu sehingga bisa kerja sama”.
“Mari
pak ke ruang dalam saja, biar ngobrolnya bisa lebih santai dan bisa saya
jelaskan maksud saya untuk bekerja sama”.
“Kebetulan
saya di rumah sendiri, istri saya dan anak-anak lagi ke rumah mertua di Solo
dari kemarin”.
“Saya
baru akan menyusul nanti sore” jawab Pak Burhan antusias.
Pak Burhan kemudian
mendahului ke ruang dalam dan kemudian mempersilahkan Pak Rosyid untuk duduk.
Sebuah ruang keluarga yang besar dan cukup mewah. Sebuah TV Plasma terlihat ada
di atas meja besar dan berukir. Terlihat ada tiga kamar yang tertutup rapat,
dan ada suatu lorong yang menuju ke ruangan di belakang. Dua set sofa besar ada
di ruangan tersebut. Di salah satu sudut ruangan sebelah TV terdapat beberapa
boks CPU, monitor LED, dan juga keyboard dan mouse. Setelah mempersilahkan
duduk, pak Burhan kemudian berjalan ke bagian belakang ruang keluarga. Setelah
beberapa saat, pak Burhan kembali dengan membawa nampan berisi dua gelas kopi
dalam mug.
“Mari, silahkan diminum
pak, biar lebih seger” kata pak Burhan.
“Terima kasih pak” sahut
pak Rosyid.
“Gini
pak, adik saya kebetulan mendapatkan beberapa proyek pengadaan komputer di
beberapa kabupaten di Provinsi Maluku Utara”.
“Totalnya
ada 140 unit komputer dan 4 server”.
“Kita
kerjasama, jadi saya yang bertugas untuk mengadakan komputernya termasuk
pengirimannya”.
“Ini
kemarin saya dapat, tapi kayaknya masih agak ketinggian, agak mepet”.
“Jadi
kalau bisa saya cari yang lebih murah lagi”.
“Adik
saya ngasih plafond harganya sampai sana, dan sisanya itu jadi keuntungan saya”
kata pak Burhan menerangkan.
Pak Burhan kemudian mengambil
laptop yang ada di atas meja di sebelah TV, dan kemudian meletakkan di meja
tamu dan menghidupkannya. Selanjutnya, pak Burhan membuka email dari adiknya.
“Ini
email Surat Perintah Kerja (SPK) dari adik saya”.
“Di
sini ada penjelasan mengenai spesifikasi dari komputer dan jumlahnya”.
“Ada
5 spesifikasi komputernya dan jumlahnya juga berbeda”.
“Kemudian
ini ada 4 server, dan ada 2 spesifikasi untuk server itu”.
“Di
sebelah kanan itu harganya”.
“Sebenarnya,
adik saya mengajukan harga penawaran itu atas saran saya”
“Saya
sudah survey sebelumnya di dealer-dealer komputer di Jogja dan dapat murah di
salah satu dealer di daerah Papringan”.
“Perhitungan
saya, tiap item bisa untung minimal 30% bahkan lebih”.
“Tapi
ternyata harga sekarang naik cukup banyak karena naiknya dolar”.
“Sebenarnya
sudah saya perhitungkan kenaikan dolar tapi kenaikanya di atas prediksi saya”.
“Belum
lagi kenaikan harga paket yang cukup tinggi karena kenaikan harga bagasi
pesawat”.
“Satu
lagi yang membuat saya bingung, ternyata dealer komputer yang di papringan itu
mengoplos komponennya, sebagian itu bekas, dan mereka hanya mau garansi 3 bulan
saja”.
“Saya
agak ragu dengan garansi yang hanya 3 bulan, walaupun saya sudah siapkan 10
unit komputer untuk penggantian kalau ada yang rusak, dan sudah diperhitungkan
juga pada saat penentuan harga”.
“Maunya
untung malah jadi buntung, dengan kondisi sekarang, tipis banget untungnya
malah berpotensi rugi kalau ada kerusakan komputer di perjalanan” kata pak
Burhan mengakhiri penjelasannya sambil tersenyum kecut.
Pak Rosyid kemudian
memeriksa spesifikasi dan harga di SPK. “Wah ini harganya tinggi banget”. “Tapi
barangkali selain biaya pengiriman juga untuk pihak-pihak lain yang terlibat
sehingga harganya jadi segini” kata pak Rosyid dalam hati.
“Bisa saya lihat nota dari
komputer yang sudah dibeli” tanya pak Rosyid.
Pak Burhan kemudian mengambil
nota yang disimpan di sebuah meja di sudut ruangan, dan diserahkan ke pak
Rosyid.
“Ini
nota dari dealer yang di Papringan, selisihnya gak banyak dengan harga jadi di
SPK”.
“Untungnya
baru beli 5 unit, kalau sudah beli banyak wah rugi saya” kata pak Burhan.
Pak Rosyid melihat nota
tersebut dan sedikit terkejut. Selama ini dia hanya mengantar pesanan komponen
dan komputer yang dipesan dealer komputer. Tidak pernah dia mau tahu berapa komponen
atau komputer itu dijual kembali oleh dealer kepada konsumen. Sekarang baru
tahu ternyata selisihnya cukup besar.
“Saya
bisa mengusahakan harga yang selisihnya cukup besar dengan harga yang
dikasihkan dealer”.
“Kalau
langsung ngambil dari tempat saya, bisa jauh lebih murah karena kita itu
distributor”.
“Sebenarnya,
kita tidak menjual ke perorangan dan hanya menjual ke dealer komputer saja,
tapi karena ini cukup besar nanti saya lobby ke bos” kata pak Rosyid.
“Alhamdulillah
ya Allah, ternyata memang Allah sudah mengatur pertemuan kita”.
“Doa-doa
saya ternyata dikabulkan”.
“Sudah
seminggu ini saya rutin tahajud dan wirid setiap malam”.
“Hari
ini Allah menjawab doa saya”.
Pak Burhan kemudian
terlihat sedikit mendongakkan kepalanya ke atas dan menengadahkan tangannya.
Mulutnya berkemak-kemik membaca doa, dan kemudian mengusap mukanya. Setelah itu
dia terlihat menghela nafas panjang, dan kemudian menengok kembali ke arah pak
Rosyid.
“O
ya, tadi dari mana pak ? kok terus sholat dhuha di mesjid sini?” tanya pak
Burhan memecah keheningan.
“Saya
salut, kayaknya bapak sudah terbiasa sholat dhuha ya ...”
“Sebenarnya
tidak terbiasa juga sih, karena saya lagi ada masalah, makanya saya lebih rajin
sholat sunah” jawab pak Rosyid malu-malu.
“Kalau boleh tahu, pak Rosyid lagi ada masalah apa ?” tanya pak Burhan.
“Kalau boleh tahu, pak Rosyid lagi ada masalah apa ?” tanya pak Burhan.
Pak Rosyid lalu bercerita
mengenai kesulitan keuangan yang sedang menimpanya. Mulai dari musibah yang
menimpanya akhir-akhir ini dan membuatnya mengalami masalah keuangan, ditambah
lagi dengan kedua anaknya yang membutuhkan biaya untuk studinya. Diceritakan
juga mengenai usahanya yang gagal untuk meminjam uang dari teman baiknya di
Perumahan Minomartani, karena temannya juga sedang dalam masalah keuangan. “Begitulah
pak, karena capek dan banyak pikiran, saya ingin mengadu ke Allah dengan cara
sholat Dhuha”. “Kebetulan saya ingat ada masjid patok negara di Ploso Kuning
ini, sehingga saya mampir untuk sholat dhuha”. “Selepas sholat, saya
duduk-duduk di serambi, dan karena suasana yang sejuk dan angin sepoi-sepoi,
saya agak mengantuk, sehingga
menyenderkan bahu ke kotak amal”. “Mas-mas tadi itu tiba-tiba datang, langsung
marah-marah dan nuduh saya mau mencuri kotak amal” kata pak Rosyid menjelaskan.
Pak Burhan menghela nafas
panjang setelah pak Rosyid menceritakan masalahnya.
“Mungkin
sudah jalannya Allah mempertemukan kita, sehingga bisa saling menolong”.
“Pak
Rosyid menolong saya menyediakan sejumlah komputer dengan spesifikasi seperti
di SPK, dan nanti saya kasih 5%”
“Itu
sudah jauh lebih besar dari yang pak Rosyid butuhkan, dan besok Senin setelah
dapat ada kepastian, saya akan transfer untuk pak Rosyid 10 juta, sisanya kalau
nanti barangnya sudah siap”. Kata pak Burhan.
Pak Rosyid kemudian turun
dari kursi dan jongkok dan memegang tangan pak Burhan. Terlihat setetes air
mata turun di pipi.
“Terima
kasih sekali pak”.
“Semoga
Allah membalas semua kebaikan bapak ini, dengan rizki dan keberkahan untuk
bapak dan keluarga” kata pak Rosyid.
Pak Burhan buru-buru
mendirikan pak Rosyid.
“Jangan seperti itu pak,
saya gak enak”.
“Kita itu saling menolong
pak”.
“Kalau
saya mau berikan bapak 10 juta di awal, itu khan hanya semacam DP saja karena
bapak juga akan mengusahakan saya komputer dengan harga yang lebih murah”.
“Jadi
saya merasa tidak menolong bapak” kata pak Burhan.
“Jadi
gimana pak, kapan saya bisa ke kantor bapak untuk dapat kepastian?”.
“O
ya, kantornya alamatnya mana pak?” tanya Pak Burhan lagi.
“Insya
Allah besok pak”.
”Saya
akan bicara dulu sama bos, nanti saya kabari dan kita bisa ketemu di kantor
untuk bicara lebih detil sama bos”.
“Insya
Allah bos gak masalah karena ini proyek besar”.
“Besok
saya kirim map saja lewat Whatsapp biar lebih enak nyarinya pak”.
“Kantor
saya di jalan Kwarasan, nanti kalau sudah dekat
Whatsapp saja, nanti saya tunggu depan kantor”.
“Kantor
saya tidak ada papan namanya, hanya seperti rumah biasa, jadi biar gak bingung
saya tunggu di depan kantor” kata pak Rosyid.
“Ok
pak kalau begitu, coba cek pak tadi saya whatsapp, itu nomor saya” kata pak
Burhan.
Selanjutnya obrolan
berlanjut dengan membicarakan masalah yang lain, mulai masalah keluarga sampai
masalah pekerjaan, bahkan politik. Pak Rosyid terlihat sangat gembira. Beban
masalahnya telah lepas, sehingga dia bisa tersenyum dan tertawa dengan lepas.
Setelah beberapa saat kemudian, pak Rosyid pamit untuk pulang. Pak Burhan
mengantar sampai depan rumah.
“Sampai
ketemu besok pak Rosyid kata pak Burhan.
“Ya
pak, mudah-mudahan ini jadi momen untuk persaudaraan kita pak” jawab pak
Rosyid.
“Insya
Allah pak” timpal pak Burhan.
Pak Rosyid kemudian
memacu motornya sedikit agak ngebut. Perasaannya telah plong karena
permasalahannya mulai terpecahkan. Dia sudah tidak sabar untuk sampai rumah dan
menceritakan semuanya kepada anak dan istrinya. Pasti istri dan anaknya akan
senang mendengar dia mendapatkan proyek besar dan dapat membayar biaya studi
anak-anaknya. Sepanjang perjalanan ke rumah, tidak henti-hentinya pak Rosyid
bertasbih dan mengagungkan nama-Nya. “Ujian dari Allah memang indah” kata Pak
Rosyid dalam hati.
Ikut nyimak gan...
BalasHapusMengharukan...
Makasih...
Salm dari Jakarta selatan....