Selasa, 31 Desember 2013

OBROLAN CAKRUK : WAJIB BELAJAR SEMBILAN TAHUN

OBROLAN CAKRUK : WAJIB BELAJAR SEMBILAN TAHUN
Seperti biasa, malam sabtu merupakan malam di mana saya bertugas untuk meronda. Walaupun malam itu dingin dan hujan rintik-rintik, saya mengusir malas jauh-jauh dan berjalan menuju cakruk. Rupanya saya datang paling belakang, semua teman sudah kumpul sambil melihat televisi, mengobrol, minum teh dan sedikit camilan. Sayapun segera bergabung bersama mereka. Sambil menyeruput teh manis untuk sekedar mengatasi dingin, saya mendengarkan obrolan teman-teman. Rupanya, mereka sedang berbicara masalah pendidikan.

Pak Madiman menyayangkan anak pak Murai (salah satu warga) yang sebenarnya pintar tapi tidak melanjutkan sekolah ke SMP. "Emangnya kenapa kok gak melanjutkan sekolah", tanya pak Ari. "Kayaknya anaknya memang sudah malas dan bapaknya juga nggak mau memotivasi anaknya", jawab pak Madiman. "Wah, itu namanya "Tumbu entuk tutup" pak Madiman, klop, anaknya males, bapake tidak mudeng", pak Joko Menimpali. Kamipun terdiam sambil terus melihat acara televisi dan minum teh.
Obrolan teman-teman di cakruk, benar-benar membuat saya penasaran. Berbagai pertanyaan lalu lalang dalam otak saya, sehingga akhirnya saya berusaha memancing untuk meneruskan obrolan. "Pak Madiman, sekolah di SMP khan gratis ? apa alasannya kok pak Murai tidak mendorong anaknya untuk sekolah SMP ?, kataku. Pak Madiman terdiam sejenak, dan kemudian menjawab "katanya sih lulus SD sama lulus SMP itu sama saja, sama-sama susah untuk cari kerja, sekarang minimal harus lulusan SMU".
Jawaban pak Madiman benar-benar menimbulkan rasa penasaran yang besar sampai saya pulang ke rumah. Saya mencoba memprediksi, berapa banyak orang yang mempunyai pandangan seperti pak Murai ?. Hari-hari berikutnya, saya mencoba mengumpulkan informasi kasus-kasus serupa di sekitar tempat tinggal saya. Ternyata ada beberapa anak yang tidak melanjutkan ke SMP dan memilih bekerja seadanya untuk membantu orang tua. Rata-rata mereka kemudian menjadi tukang batu. Hasil pembicaraan dengan orang tua anak tersebut, membuat saya tercengang. Pendapat mereka rata-rata sama, tamat SD dan tamat SMP itu sama saja, gak bisa untuk cari kerjaan yang layak, yang penting anaknya sudah bisa baca tulis.
Saya belum puas dan mencari kasus-kasus yang sama dalam wilayah yang lebih luas, dan hasilnya-pun relatif sama. Kemudian saya mencoba membandingkannya dengan kondisi di daerah perkotaan, ternyata hasilnya berbeda. Orang yang berada di daerah perkotaan ternyata mempunyai kesadaran pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pinggiran seperti tempat saya. Namun hasil mini riset tersebut, memunculkan anggapan bahwa gerakan wajib belajar sembilan tahun belum benar-benar efektif (khususnya di daerah pedesaan). Pertanyaan besarnya adalah faktor apakah yang menyebabkan ini bisa terjadi ?
Obrolan bersama teman yang menjadi guru SMP, membawa saya pada suatu kesimpulan bahwa faktor yang menjadi faktor penyebab kurang efektifnya gerakan wajib belajar sembilan tahun adalah kurang efektifnya sosialisasi gerakan tersebut. Lalu dimana letak kurang efektifnya ? Pemerintah dalam mensosialisasikan gerakan wajib belajar sembilan tahun tidak menunjukkan bahwa menyekolahkan anak sampai SMP memiliki keunggulan ekonomis yang lebih dibandingkan dengan hanya sekolah sampai jenjang SD, dan ini harus mendapatkan perhatian dari pemerintah kata teman saya. Alangkah baiknya kalau sosialisasi juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan kultural religius, melalui tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama, untuk meyakinkan orang tua bahwa sangat penting untuk menyekolahkan anaknya minimal sampai jenjang SMP. Hal ini diharapkan dapat menjadi sebuah tekanan secara sosial bagi orang tua, sehingga tergerak untuk menyekolahkan anaknya minimal sampai SMP.

Apa yang saya uraikan di atas, hanya sekedar opini yang belum tentu benar. Data yang menjadi acuan-pun hanya dalam lingkup yang sempit dan rasanya kurang representatif. Paling tidak postingan ini dapat melampiaskan dahaga saya untuk berbagi informasi dan menumpahkan segala uneg-uneg yang ada dalam kepala. Semoga bermanfaat.

Berbagi Informasi
Berbagi Informasi Updated at: Selasa, Desember 31, 2013

37 komentar:

  1. enyong rondane malem selasa kang. beda ya.

    BalasHapus
  2. pemerintah kurang visioner soal pendidikan, ya kan..
    liat saja, anggaran 20% yang diatur di konstitusi ternyata tidak pernah optimal didayagunakan.
    buktinya, keadaan di dunia pendidikan banyak mengalami stagnasi, bukan kemajuan.
    bahkan kian banyak kasus yang mengiringi perjalanan pendidikan kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. gimana mau maju...menterinya gagal ngelaksanain UN...masih cengar cengir cengengesan dan berkelit melit mlintiri bawahan dengan nyalahin orang lain.....dasar kambing.....coba kalau di Jepang....menteri yang gagal...pasti langsung harakiri....makanya jepang maju....negeri anda emang katrok gan!!!

      Hapus
    2. @kang Zach : 20% ora kabeh go pendidikan formal kang, sebagian juga untuk pendidikan di semua departemen, kiya juga akeh
      @Kang Hadi: masih mending negeri Cilembu ya kang .. hehehhe

      Hapus
  3. walah masih musim ronda ya mas.? di tempat saya sudah berhenti sejak setahun yang lalu rondanya.. sekarang tinggal rondonya yang banyak hahahaha..

    alasan pak murai masuk akal mas.. ya memang nyatanya lulusan smp tidak ada bedanya dengan lulusan sd dalam hal pekerjaan mas, sama sama di tolak disana -sini hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama mas d tempat saya juga sudah berhenti ngaronda,yang ada cari randa(janda)hix hix...

      Hapus
    2. @Mas Nady : jane bener mas, tapi paling tidak ada peningkatan pola pikirnya .. hehe
      @Mas Agus : di tempat saya ronda sambil cari randa ... wkwkwkwk

      Hapus
    3. Sambil menyelam sambil minum susu dapat dua2 nya hehe..

      Hapus
  4. Pendidikan memang sangat penting,wajib belajar seumur hidup!

    BalasHapus
  5. wah kalau ronda getu mesti pada ngobrol kesana-kemari ya mas. Selain itu pasti pada maen catur hehehe :D
    ntar kalau ada maling gimana tuh hehehe :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. kan malingnya juga sambil maen petak umpet mbak hihi

      Hapus
    2. yang tambah seru ngeronda di rumah janda muda wkwkwkw

      Hapus
    3. Malingnya juga masuk grup ronda mbak .. heheheh

      Hapus
  6. pendidikan sangat penting sekali,tapi sayang yah ko bapaknya punya pikiran seperti itu ( SD sama SMP sama ) seharusnya bapaknya itu mendorong anaknya agar sekolah,,,ahhh entahlah bingung jadinya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sebenarnya juga masih bingung keunggulan secara ekonomis SMP dibandingkan SD, paling tidak pola pikirnya lebih maju barangkali ...

      Hapus
  7. saya rondanya malam minggu mas

    BalasHapus
  8. pendidikan itu wajib ya mas, supaya kita tidak dikibulin, dan tertipu orang yang pinter - pinter

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sesama penipu dilarang saling menipu ya mang .. hehehehehe

      Hapus
  9. bener banget, pendidikan itu wajib :) apalagi klo bisa di gratisin biar semua pada sekolah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apalagi sampai perguruan tinggi ya mbak ..., tekor nanti ... hehehehe

      Hapus
  10. mendapatkan pendidikan adalah hak semua warga negara, menurut saya sih bukan kewajiban.
    tapi sayangnya biaya pendidikan makin hari makin mahal saja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gratis itu bayar SPP nya......diakali oleh para gurunya dengan diminta bayaran ini dan itu tiap 3,6 dan setahun sekali dengan nominal yang sama kalau dijumlahin dengan SPP....dengan mengatas namakan KOMITE SEKOLAH......kampret kan?!

      Hapus
    2. Ada juga yang alasannya untuk meningkatkan kualitas harus nambah biaya, dan ditawarkan kepada orang tua siswa, setuju kang, emang kampret .. hehehe

      Hapus
  11. saya adalah mantan pelaku pendidikan(baca : Guru) pada tingkat SMP dan SMU...karena kemuakan saya sama prilaku para petinggi pendidikan dari mulai tingkat Kabupaten sampe ke kementrian dinegerimu Endonesah...makanya saya minggat dari dunia itu....saya milih jadi tukang dagang Ubi Cilembu plus jadi tukang benerin jalan raya azh lah....nah kan satu lagi contoh carut marutnya dunia pendidika.....dari orang tua siswa yang dicontohkan itu...kan begituh...dari info guru SMP nya kan emang begituh juga kan.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul kang, masih banyak yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan di Endonesiah ..

      Hapus
  12. Mungkin desas-desus pendidikan gratis untuk tingkat SD-SMP hanya di beberapa tempat saja. faktanya banyak sekolah yang malah spp-nya melambung, kalau saya pribadi untuk pendidikan tidak gratis itu tidak apa2 toh ada manfaatnya tapi permasalahannya adalah dari individunya, memiliki kemauan atau tidak, mau berusaha atau tidak. dan saya rasa pendidikan 9th itu cuma isapan jempol karena saya lihat cukup banyak yang gagal ditengah perjalanan akibat masalah kecil yang intinya kembali pada individu masing2

    BalasHapus
    Balasan
    1. khususnya di sekolah yang berlabel SBI dulu SPP-nya mahal banget. Dihapusnya SBI ternyata juga hanya berpengaruh sedikit, mereka menyatakan bahwa untuk menjaga kualitas sekolah sesuai SBI memerlukan biaya operasional yang lebih tinggi, dan orang tua kemudian ditawarkan untuk menambah biaya operasional agar kualitasnya tetap bisa dipertahankan

      Hapus
  13. Sebenarnya saya aja yang sensi, dengar banyak kasus anak yang tidak melanjutkan ke SMP, jadi dari obrolan di cakruk bisa jadi postingan ini ... hehehehe

    BalasHapus
  14. di daerah ane nih gan masih ada acara ginian tapi ya gitu.. orang2 pada kabur2n , ronda masing2 di dalam rumah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya di pinggiran Jogja, sudah masuk Bantul, sekitar ringroad selatan

      Hapus
  15. sekolah gratis belum tentu meningkatkan kualitas pendidikan, om
    ini beda dengan beasiswa yang diberikan dengan persyaratan tertentu dan bisa memacu orang agar bisa berkompetisi untuk mendapatkannya. lagian masyarakat kita memang masih banyak yang mengartikan kalo sekolah itu untuk nyari kerja. jadinya ya rada repot...

    BalasHapus
  16. Tujuan wajib belajar 9 tahun memang mung ditujuke untuk meningkatkan pendidikan masyarakat, tapi rika bener bahwa masyarakat lebih memandang pendidikan untuk nyari kerja, paradigma kiye perlu dirubah .. tapi ketone angel ya .. hehehe

    BalasHapus

Terima Kasih Atas Kunjungannya
Harap berkomentar yang santun
dan tidak ada unsur SARA dan pornografi
Maaf, komentar dengan link aktif akan dihapus