Seperti biasa, malam
sabtu merupakan malam di mana saya bertugas untuk meronda. Walaupun malam itu
dingin dan hujan rintik-rintik, saya mengusir malas jauh-jauh dan berjalan
menuju cakruk. Rupanya saya datang paling belakang, semua teman sudah kumpul
sambil melihat televisi, mengobrol, minum teh dan sedikit camilan. Sayapun
segera bergabung bersama mereka. Sambil menyeruput teh manis untuk sekedar
mengatasi dingin, saya mendengarkan obrolan teman-teman. Rupanya, mereka sedang
berbicara masalah pendidikan.
Pak
Madiman menyayangkan anak pak Murai (salah satu warga) yang sebenarnya pintar
tapi tidak melanjutkan sekolah ke SMP. "Emangnya kenapa kok gak
melanjutkan sekolah", tanya pak Ari. "Kayaknya anaknya memang sudah
malas dan bapaknya juga nggak mau memotivasi anaknya", jawab pak Madiman. "Wah,
itu namanya "Tumbu entuk tutup"
pak Madiman, klop, anaknya males, bapake tidak mudeng", pak Joko
Menimpali. Kamipun terdiam sambil terus melihat acara televisi dan minum teh.
Obrolan
teman-teman di cakruk, benar-benar membuat saya penasaran. Berbagai pertanyaan lalu
lalang dalam otak saya, sehingga akhirnya saya berusaha memancing untuk
meneruskan obrolan. "Pak Madiman, sekolah di SMP khan gratis ? apa
alasannya kok pak Murai tidak mendorong anaknya untuk sekolah SMP ?, kataku.
Pak Madiman terdiam sejenak, dan kemudian menjawab "katanya sih lulus SD
sama lulus SMP itu sama saja, sama-sama susah untuk cari kerja, sekarang minimal
harus lulusan SMU".
Jawaban
pak Madiman benar-benar menimbulkan rasa penasaran yang besar sampai saya pulang
ke rumah. Saya mencoba memprediksi, berapa banyak orang yang mempunyai
pandangan seperti pak Murai ?. Hari-hari berikutnya, saya mencoba mengumpulkan
informasi kasus-kasus serupa di sekitar tempat tinggal saya. Ternyata ada
beberapa anak yang tidak melanjutkan ke SMP dan memilih bekerja seadanya untuk
membantu orang tua. Rata-rata mereka kemudian menjadi tukang batu. Hasil
pembicaraan dengan orang tua anak tersebut, membuat saya tercengang. Pendapat
mereka rata-rata sama, tamat SD dan tamat SMP itu sama saja, gak bisa untuk
cari kerjaan yang layak, yang penting anaknya sudah bisa baca tulis.
Saya
belum puas dan mencari kasus-kasus yang sama dalam wilayah yang lebih luas, dan
hasilnya-pun relatif sama. Kemudian saya mencoba membandingkannya dengan kondisi
di daerah perkotaan, ternyata hasilnya berbeda. Orang yang berada di daerah
perkotaan ternyata mempunyai kesadaran pendidikan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah pinggiran seperti tempat saya. Namun hasil mini
riset tersebut, memunculkan anggapan bahwa gerakan wajib belajar sembilan tahun
belum benar-benar efektif (khususnya di daerah pedesaan). Pertanyaan besarnya
adalah faktor apakah yang menyebabkan ini bisa terjadi ?
Obrolan
bersama teman yang menjadi guru SMP, membawa saya pada suatu kesimpulan bahwa faktor
yang menjadi faktor penyebab kurang efektifnya gerakan wajib belajar sembilan
tahun adalah kurang efektifnya sosialisasi gerakan tersebut. Lalu dimana letak
kurang efektifnya ? Pemerintah dalam mensosialisasikan gerakan wajib belajar
sembilan tahun tidak menunjukkan bahwa menyekolahkan anak sampai SMP memiliki
keunggulan ekonomis yang lebih dibandingkan dengan hanya sekolah sampai jenjang
SD, dan ini harus mendapatkan perhatian dari pemerintah kata teman saya.
Alangkah baiknya kalau sosialisasi juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kultural religius, melalui tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama, untuk
meyakinkan orang tua bahwa sangat penting untuk menyekolahkan anaknya minimal
sampai jenjang SMP. Hal ini diharapkan dapat menjadi sebuah tekanan secara
sosial bagi orang tua, sehingga tergerak untuk menyekolahkan anaknya minimal sampai
SMP.
Apa
yang saya uraikan di atas, hanya sekedar opini yang belum tentu benar. Data
yang menjadi acuan-pun hanya dalam lingkup yang sempit dan rasanya kurang
representatif. Paling tidak postingan ini dapat melampiaskan dahaga saya untuk berbagi
informasi dan menumpahkan segala uneg-uneg yang ada dalam kepala. Semoga
bermanfaat.
enyong rondane malem selasa kang. beda ya.
BalasHapusnek malem jum'at rika juga ronda mbok .. hehehe
Hapuspemerintah kurang visioner soal pendidikan, ya kan..
BalasHapusliat saja, anggaran 20% yang diatur di konstitusi ternyata tidak pernah optimal didayagunakan.
buktinya, keadaan di dunia pendidikan banyak mengalami stagnasi, bukan kemajuan.
bahkan kian banyak kasus yang mengiringi perjalanan pendidikan kita.
gimana mau maju...menterinya gagal ngelaksanain UN...masih cengar cengir cengengesan dan berkelit melit mlintiri bawahan dengan nyalahin orang lain.....dasar kambing.....coba kalau di Jepang....menteri yang gagal...pasti langsung harakiri....makanya jepang maju....negeri anda emang katrok gan!!!
Hapus@kang Zach : 20% ora kabeh go pendidikan formal kang, sebagian juga untuk pendidikan di semua departemen, kiya juga akeh
Hapus@Kang Hadi: masih mending negeri Cilembu ya kang .. hehehhe
walah masih musim ronda ya mas.? di tempat saya sudah berhenti sejak setahun yang lalu rondanya.. sekarang tinggal rondonya yang banyak hahahaha..
BalasHapusalasan pak murai masuk akal mas.. ya memang nyatanya lulusan smp tidak ada bedanya dengan lulusan sd dalam hal pekerjaan mas, sama sama di tolak disana -sini hehehehe
Sama mas d tempat saya juga sudah berhenti ngaronda,yang ada cari randa(janda)hix hix...
Hapus@Mas Nady : jane bener mas, tapi paling tidak ada peningkatan pola pikirnya .. hehe
Hapus@Mas Agus : di tempat saya ronda sambil cari randa ... wkwkwkwk
Sambil menyelam sambil minum susu dapat dua2 nya hehe..
HapusPendidikan memang sangat penting,wajib belajar seumur hidup!
BalasHapusBetul banget mas Agus ..
Hapuswah kalau ronda getu mesti pada ngobrol kesana-kemari ya mas. Selain itu pasti pada maen catur hehehe :D
BalasHapusntar kalau ada maling gimana tuh hehehe :D
kan malingnya juga sambil maen petak umpet mbak hihi
Hapusyang tambah seru ngeronda di rumah janda muda wkwkwkw
HapusMalingnya juga masuk grup ronda mbak .. heheheh
Hapuspendidikan sangat penting sekali,tapi sayang yah ko bapaknya punya pikiran seperti itu ( SD sama SMP sama ) seharusnya bapaknya itu mendorong anaknya agar sekolah,,,ahhh entahlah bingung jadinya hehe
BalasHapusSaya sebenarnya juga masih bingung keunggulan secara ekonomis SMP dibandingkan SD, paling tidak pola pikirnya lebih maju barangkali ...
Hapussaya rondanya malam minggu mas
BalasHapusMalam jumat juga khan mang ...?
Hapuspendidikan itu wajib ya mas, supaya kita tidak dikibulin, dan tertipu orang yang pinter - pinter
BalasHapusSesama penipu dilarang saling menipu ya mang .. hehehehehe
Hapusbener banget, pendidikan itu wajib :) apalagi klo bisa di gratisin biar semua pada sekolah
BalasHapusApalagi sampai perguruan tinggi ya mbak ..., tekor nanti ... hehehehe
Hapusmendapatkan pendidikan adalah hak semua warga negara, menurut saya sih bukan kewajiban.
BalasHapustapi sayangnya biaya pendidikan makin hari makin mahal saja
Gratis itu bayar SPP nya......diakali oleh para gurunya dengan diminta bayaran ini dan itu tiap 3,6 dan setahun sekali dengan nominal yang sama kalau dijumlahin dengan SPP....dengan mengatas namakan KOMITE SEKOLAH......kampret kan?!
Hapusmbah nya kampret Kang :D
HapusAda juga yang alasannya untuk meningkatkan kualitas harus nambah biaya, dan ditawarkan kepada orang tua siswa, setuju kang, emang kampret .. hehehe
Hapussaya adalah mantan pelaku pendidikan(baca : Guru) pada tingkat SMP dan SMU...karena kemuakan saya sama prilaku para petinggi pendidikan dari mulai tingkat Kabupaten sampe ke kementrian dinegerimu Endonesah...makanya saya minggat dari dunia itu....saya milih jadi tukang dagang Ubi Cilembu plus jadi tukang benerin jalan raya azh lah....nah kan satu lagi contoh carut marutnya dunia pendidika.....dari orang tua siswa yang dicontohkan itu...kan begituh...dari info guru SMP nya kan emang begituh juga kan.....
BalasHapusBetul kang, masih banyak yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan di Endonesiah ..
HapusMungkin desas-desus pendidikan gratis untuk tingkat SD-SMP hanya di beberapa tempat saja. faktanya banyak sekolah yang malah spp-nya melambung, kalau saya pribadi untuk pendidikan tidak gratis itu tidak apa2 toh ada manfaatnya tapi permasalahannya adalah dari individunya, memiliki kemauan atau tidak, mau berusaha atau tidak. dan saya rasa pendidikan 9th itu cuma isapan jempol karena saya lihat cukup banyak yang gagal ditengah perjalanan akibat masalah kecil yang intinya kembali pada individu masing2
BalasHapuskhususnya di sekolah yang berlabel SBI dulu SPP-nya mahal banget. Dihapusnya SBI ternyata juga hanya berpengaruh sedikit, mereka menyatakan bahwa untuk menjaga kualitas sekolah sesuai SBI memerlukan biaya operasional yang lebih tinggi, dan orang tua kemudian ditawarkan untuk menambah biaya operasional agar kualitasnya tetap bisa dipertahankan
Hapussaya malah sudah follow duluan .. hehehehe
BalasHapusSebenarnya saya aja yang sensi, dengar banyak kasus anak yang tidak melanjutkan ke SMP, jadi dari obrolan di cakruk bisa jadi postingan ini ... hehehehe
BalasHapusdi daerah ane nih gan masih ada acara ginian tapi ya gitu.. orang2 pada kabur2n , ronda masing2 di dalam rumah :D
BalasHapussaya di pinggiran Jogja, sudah masuk Bantul, sekitar ringroad selatan
Hapussekolah gratis belum tentu meningkatkan kualitas pendidikan, om
BalasHapusini beda dengan beasiswa yang diberikan dengan persyaratan tertentu dan bisa memacu orang agar bisa berkompetisi untuk mendapatkannya. lagian masyarakat kita memang masih banyak yang mengartikan kalo sekolah itu untuk nyari kerja. jadinya ya rada repot...
Tujuan wajib belajar 9 tahun memang mung ditujuke untuk meningkatkan pendidikan masyarakat, tapi rika bener bahwa masyarakat lebih memandang pendidikan untuk nyari kerja, paradigma kiye perlu dirubah .. tapi ketone angel ya .. hehehe
BalasHapus