Mbah
Pawiro bukan pejabat, bukan artis, bukan tokoh politik, bukan juga kyai. Mbah
Pawiro hanya seorang kakek sederhana yang berusia lebih dari 90 tahun dari
Dusun Kasihan, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Orang tua yang sederhana dan
bersahaja. Hal yang menurut saya hebat adalah ke-istiqomah-annya dalam menjaga
sholat berjamaah di Masjid.
Selama setahun ini, beliau seakan telah menampar muka saya. Mbah Pawiro, walaupun jalannya sudah tertatih-tatih, dan menderita tremor di bagian mulut, setiap hari, setiap waktu sholat, selalu datang paling awal ke masjid untuk sholat berjamaah. Hujan deras tidak akan menjadi halangan bagi beliau untuk sholat berjamaah di masjid, walaupun jarak rumahnya ke masjid + 300 meter, sebuah jarak yang cukup jauh untuk ukuran orang dengan kondisi seperti beliau. Adapun saya, yang usianya mungkin hanya separuh usia beliau, sehat secara fisik, tidak setiap saat bisa sholat berjamaah. Alasan masih ada pekerjaan, seringkali menjadi pembenaran dari rasa malas, apabila kalau sedang hujan lebat.
Selama setahun ini, beliau seakan telah menampar muka saya. Mbah Pawiro, walaupun jalannya sudah tertatih-tatih, dan menderita tremor di bagian mulut, setiap hari, setiap waktu sholat, selalu datang paling awal ke masjid untuk sholat berjamaah. Hujan deras tidak akan menjadi halangan bagi beliau untuk sholat berjamaah di masjid, walaupun jarak rumahnya ke masjid + 300 meter, sebuah jarak yang cukup jauh untuk ukuran orang dengan kondisi seperti beliau. Adapun saya, yang usianya mungkin hanya separuh usia beliau, sehat secara fisik, tidak setiap saat bisa sholat berjamaah. Alasan masih ada pekerjaan, seringkali menjadi pembenaran dari rasa malas, apabila kalau sedang hujan lebat.
Mbah Pawiro |
Ke-istiqomah-annya,
menggelitik sanubari dan perlahan menggugurkan bongkahan-bongkahan rasa malas
yang menghadang langkah saya sholat berjamaah di masjid. Walaupun belum bisa menjadi
seperti beliau, minimal maghrib dan Isa, saya berusaha sholat berjamaah di
masjid, sebuah hal yang patut saya syukuri. Sebuah ironi, kyai-kyai yang
berkotbah di masjid dan mengajarkan keutamaan sholat berjamaah di masjid, tidak
mampu merubah saya menjadi sosok yang gemar sholat secara berjamaah di masjid. Sosok
mbah Pawiro, yang tidak banyak bicara dan hanya tersenyum dan menyapa kalau
bertemu, ternyata membawa banyak perubahan pada diri saya.
Beberapa
hari lalu, ketika bersebelahan saat sholat Isa di masjid, beliau mengajak saya
bicara, "kulo pun tinggal balung
kalih kulit, ning taksih diparingi napas. Benjang menawi kulo boten wonten,
jenengan kalih jamaah liyane kulo suwun nyolati kulo, trus ngeterke teng kidul
sumber gih.." (saya tinggal tulang dan kulit, tapi masih diberi nafas.
Besok kalau saya meninggal, kamu dan jamaah lainnya saya minta untuk
menyolatkan saya, dan kemudian mengantar ke selatan sumber). Saya terhenyak
mendengarnya, beliau tampak ikhlas ketika mengucapkannya, seakan sudah
benar-benar siap untuk dipanggil Yang Kuasa.
Apabila
boleh meminta, saya berharap agar mbah Pawiro diberi kesehatan dan umur
panjang, agar sosok beliau dapat menginsipirasi semua orang. Mengajar tanpa
kata, merubah tanpa tindakan, hanya keteladanan.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus