Kamis, 13 Juni 2013

INDUSTRI DAN PENGANGGURAN MASYARAKAT : SEBUAH IRONI DARI PINGGIR RINGROAD SELATAN YOGYAKARTA

 Postingan ini dimulai dari kegalauanku sejak seminggu lalu. Flash back sejenak, seminggu lalu, seperti biasa sehabis mengantar anak sekolah aku mampir ke warung makan untuk beli sayur dan lauk karena istriku jarang masak dan hanya bikin nasi saja. Seperti biasa, dengan gaya "sok kenal sok dekat" saya mengajak ngobrol juragan warung. Saya tertarik dengan banyaknya wanita muda yang baru keluar dari pabrik boneka di depan warung, sehingga kemudian obrolan saya alihkan pada permasalahan tersebut. Melalui obrolan tersebut, saya ketahui bahwa sebagian besar karyawan di pabrik tersebut berdomisili jauh dari wilayah sekitar, bahkan banyak yang dari luar kota seperti Magelang, Purworejo, dan Kebumen. Penduduk sekitar pabrik hampir tidak ada yang bekerja di pabrik tersebut.

Saya penasaran, kenapa masyarakat sekitar justru tidak menikmati keberadaan industri yang cukup besar tersebut dengan menjadi karyawan ?. Malamnya dan malam-malam berikutnya, saya bawa topik tersebut ke obrolan di angkringan. Dari sana, saya mendapatkan informasi bahwa hanya beberapa orang di wilayah sekitar yang bekerja di pabrik boneka tersebut, bahkan saya juga mendengar bahwa pabrik BH yang baru saja dibangun di selatan pedukuhan juga telah beroperasi. Di tempat itupun tidak ada warga yang bekerja.
Rasa penasaran semakin besar. Mengapa ini bisa terjadi ? apakah manajemen pabrik tidak mengakomodir masyarakat sekitar untuk bekerja di pabriknya ? padahal banyak sekali wanita-wanita usia produktif di pedukuhan saya yang tidak bekerja. Rasa penasaran terjawab, ketika saya bertemu salah satu karyawati di pabrik boneka. Dari dia, saya mendapatkan informasi bahwa sebenarnya pihak manajemen pabrik mengutamakan masyarakat sekitar dalam rekruitmen karyawan, tetapi ternyata masyarakat sendiri tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan, yaitu bisa mengoperasikan mesin jahit.
Sisa-sisa idealisme dan keperdulian terhadap "wong cilik" yang dulu saya banggakan ketika masih jadi mahasiswa tiba-tiba bergejolak. Saya sadar tidak bisa melakukan apa-apa dengan posisi dan kondisi sekarang. Tapi paling tidak ada sumbangan pemikiran untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan gaya birokrat sambil pegang jidat dan jalan hilir mudik, saya mulai berpikir.
Dengan metode berpikir "utak-utik gatuk" saya paksakan ide mengalir bebas dalam pikiran saya. Ide-ide setengah gila muncul dalam lamunan, dan kemudian saya coba rangkai secara  lebih sistematis. Ide-ide yang mungkin "nyleneh" dan prematur, yaitu :
1.    Membuat atau merevisi regulasi mengenai ijin usaha dan pendirian pabrik. Setiap pabrik yang berdiri, paling tidak harus mengakomodir 10% penduduk sekitar menjadi karyawan.
2.    Membuat suatu Sistem Informasi Geografi yang memetakan industri skala menengah ke atas, di-link dengan data kependudukan khususnya jumlah penduduk usia produktif, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
3.  Menciptakan kerjasama lintas sektoral antara instansi yang mengeluarkan ijin usaha industri, dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan instansi lain yang terkait, sehingga keberadaan suatu industri skala menengah ke atas dapat diidentifikasi secara dini agar dapat direncanakan langkah-langkah lebih lanjut.
4.    Berdasarkan data dari Sistem Informasi Geografi tersebut, direncanakan suatu pelatihan keterampilan yang dibutuhkan industri yang berada di sekitar wilayah tersebut. Apabila memungkinkan diberikan pelatihan kewirausahaan bidang-bidang yang diperkirakan dapat tumbuh di sekitar industri.
5.  Sebelum suatu industri berdiri, ada pendekatan dari pemerintah terhadap masyarakat untuk mensosialisasikan adanya industri dan dampak-dampak yang mungkin tejadi, sehingga industri tersebut dapat diterima masyarakat. Pada kegiatan tersebut juga sekalian disosialisasikan kualifikasi keterampilan yang dibutuhkan dan adanya pelatihan yang akan diselenggarakan untuk mempersiapkan masyarakat memasuki industri.
Saya tidak berharap bahwa ide gila ini diterapkan Pemerintah Bantul. Paling tidak, saya telah mampu melepaskan "libido" dari sisa-sisa idealisme dan keperdulian terhadap "wong cilik".

Berbagi Informasi
Berbagi Informasi Updated at: Kamis, Juni 13, 2013

8 komentar:

  1. ini namanya CSR ya mas, orang orang sekeliling lebih diutamakan baru orang luar, mungkin saja masuk pabrik itu harus bayar dulu mas,
    alhamdulillah mas masih ada sisa sisa idealisme walaupun idealisme perut lebih besar seperti saya, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masuknya gak bayar, tapi memang yang dibutuhkan orang yang bisa menjahit. Repotnya masyarakat jarang yang bisa jahit. Sampai karyawan yang penduduk sekitar juga diperintahkan cari orang sekitar soalnya masih butuh karyawan karena pabrik masih baru.

      Hapus
    2. jadi memang masalahnya pada keterampilan ya mas, kalau menurut saya sih benar juga langkah pabriknya, untuk kelangsungan produksi yang cepat jgua butuh skil yang siap pakai mas

      Hapus
    3. saya juga paham dengan kebutuhan pabrik mencari karyawan yang punya skill, tapi kalau ada upaya dari pemerintah Bantul untuk mempersiapkan warga sekitar menurut saya dapat menyelesaikan masalah. Kalau dibangun suatu sistem informasi geografi-nya khan bisa lebih mudah. Anggaran yang dikeluarkan juga bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya karena berbasis data.

      Hapus
  2. pemikiran yg sangat idealisme itu pak, eh ngomong2x itu istrinya gak masak apa gak punya kompor ya ?

    BalasHapus

Terima Kasih Atas Kunjungannya
Harap berkomentar yang santun
dan tidak ada unsur SARA dan pornografi
Maaf, komentar dengan link aktif akan dihapus