Postingan ini dimulai dari kegalauanku sejak
seminggu lalu. Flash back sejenak,
seminggu lalu, seperti biasa sehabis mengantar anak sekolah aku mampir ke
warung makan untuk beli sayur dan lauk karena istriku jarang masak dan hanya
bikin nasi saja. Seperti biasa, dengan gaya "sok kenal sok dekat" saya mengajak ngobrol juragan warung. Saya
tertarik dengan banyaknya wanita muda yang baru keluar dari pabrik boneka di
depan warung, sehingga kemudian obrolan saya alihkan pada permasalahan
tersebut. Melalui obrolan tersebut, saya ketahui bahwa sebagian besar karyawan
di pabrik tersebut berdomisili jauh dari wilayah sekitar, bahkan banyak yang
dari luar kota seperti Magelang, Purworejo, dan Kebumen. Penduduk sekitar
pabrik hampir tidak ada yang bekerja di pabrik tersebut.
Saya penasaran, kenapa
masyarakat sekitar justru tidak menikmati keberadaan industri yang cukup besar
tersebut dengan menjadi karyawan ?. Malamnya dan malam-malam berikutnya, saya
bawa topik tersebut ke obrolan di angkringan. Dari sana, saya mendapatkan
informasi bahwa hanya beberapa orang di wilayah sekitar yang bekerja di pabrik
boneka tersebut, bahkan saya juga mendengar bahwa pabrik BH yang baru saja
dibangun di selatan pedukuhan juga telah beroperasi. Di tempat itupun tidak ada
warga yang bekerja.
Rasa penasaran semakin
besar. Mengapa ini bisa terjadi ? apakah manajemen pabrik tidak mengakomodir
masyarakat sekitar untuk bekerja di pabriknya ? padahal banyak sekali
wanita-wanita usia produktif di pedukuhan saya yang tidak bekerja. Rasa
penasaran terjawab, ketika saya bertemu salah satu karyawati di pabrik boneka.
Dari dia, saya mendapatkan informasi bahwa sebenarnya pihak manajemen pabrik
mengutamakan masyarakat sekitar dalam rekruitmen karyawan, tetapi ternyata
masyarakat sendiri tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan, yaitu bisa
mengoperasikan mesin jahit.
Sisa-sisa idealisme dan
keperdulian terhadap "wong cilik"
yang dulu saya banggakan ketika masih jadi mahasiswa tiba-tiba bergejolak. Saya
sadar tidak bisa melakukan apa-apa dengan posisi dan kondisi sekarang. Tapi
paling tidak ada sumbangan pemikiran untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan
gaya birokrat sambil pegang jidat dan jalan hilir mudik, saya mulai berpikir.
Dengan metode berpikir
"utak-utik gatuk" saya
paksakan ide mengalir bebas dalam pikiran saya. Ide-ide setengah gila muncul
dalam lamunan, dan kemudian saya coba rangkai secara lebih sistematis. Ide-ide yang mungkin "nyleneh" dan prematur, yaitu :
1. Membuat
atau merevisi regulasi mengenai ijin usaha dan pendirian pabrik. Setiap pabrik
yang berdiri, paling tidak harus mengakomodir 10% penduduk sekitar menjadi
karyawan.
2. Membuat
suatu Sistem Informasi Geografi yang memetakan industri skala menengah ke atas,
di-link dengan data kependudukan
khususnya jumlah penduduk usia produktif, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
3. Menciptakan
kerjasama lintas sektoral antara instansi yang mengeluarkan ijin usaha industri,
dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan instansi lain yang terkait,
sehingga keberadaan suatu industri skala menengah ke atas dapat diidentifikasi
secara dini agar dapat direncanakan langkah-langkah lebih lanjut.
4. Berdasarkan
data dari Sistem Informasi Geografi tersebut, direncanakan suatu pelatihan
keterampilan yang dibutuhkan industri yang berada di sekitar wilayah tersebut.
Apabila memungkinkan diberikan pelatihan kewirausahaan bidang-bidang yang diperkirakan
dapat tumbuh di sekitar industri.
5. Sebelum
suatu industri berdiri, ada pendekatan dari pemerintah terhadap masyarakat
untuk mensosialisasikan adanya industri dan dampak-dampak yang mungkin tejadi,
sehingga industri tersebut dapat diterima masyarakat. Pada kegiatan tersebut
juga sekalian disosialisasikan kualifikasi keterampilan yang dibutuhkan dan
adanya pelatihan yang akan diselenggarakan untuk mempersiapkan masyarakat
memasuki industri.
Saya tidak berharap bahwa
ide gila ini diterapkan Pemerintah Bantul. Paling tidak, saya telah mampu
melepaskan "libido" dari
sisa-sisa idealisme dan keperdulian terhadap "wong cilik".
ini namanya CSR ya mas, orang orang sekeliling lebih diutamakan baru orang luar, mungkin saja masuk pabrik itu harus bayar dulu mas,
BalasHapusalhamdulillah mas masih ada sisa sisa idealisme walaupun idealisme perut lebih besar seperti saya, hehe
Masuknya gak bayar, tapi memang yang dibutuhkan orang yang bisa menjahit. Repotnya masyarakat jarang yang bisa jahit. Sampai karyawan yang penduduk sekitar juga diperintahkan cari orang sekitar soalnya masih butuh karyawan karena pabrik masih baru.
Hapusjadi memang masalahnya pada keterampilan ya mas, kalau menurut saya sih benar juga langkah pabriknya, untuk kelangsungan produksi yang cepat jgua butuh skil yang siap pakai mas
Hapussaya juga paham dengan kebutuhan pabrik mencari karyawan yang punya skill, tapi kalau ada upaya dari pemerintah Bantul untuk mempersiapkan warga sekitar menurut saya dapat menyelesaikan masalah. Kalau dibangun suatu sistem informasi geografi-nya khan bisa lebih mudah. Anggaran yang dikeluarkan juga bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya karena berbasis data.
Hapuspemikiran yg sangat idealisme itu pak, eh ngomong2x itu istrinya gak masak apa gak punya kompor ya ?
BalasHapuskebetulan kompornya lagi rusak mbak ... wkwkwkwk
Hapusizin nyimak same selesai mas
BalasHapusMonggo ....
Hapus