Rabu, 18 Desember 2013

PEMBELAJARAN BERWAWASAN KEMASYARAKATAN SEBAGAI MEDIA PENYADARAN NILAI-NILAI LOKAL
Suatu siang, Anto seorang pelajar sebuah SMA swasta di Bantul Yogyakarta yang baru pulang dari sekolah disuruh ibunya untuk mengantarkan makanan kepada ayahnya ke sawah. Makanan tersebut untuk ayahnya dan tukang traktor yang disewa ayahnya untuk membajak sawah yang akan ditanami padi. Anto yang terkenal "funky" itu seketika pura-pura pusing dan segera bergegas masuk ke kamarnya. Ibunya hanya menghela napas, sambil mengeluarkan sepeda "ontel" butut dan bergegas ke sawah mengantar makanan yang sudah ditunggu ayahnya.

Sepenggal cerita di atas, seringkali terjadi di masyarakat. Anak-anak dan remaja yang sudah terbiasa ke sekolah dengan pakaian licin dan rapi, terkesan gengsi untuk melakukan hal-hal yang dinilai tidak lagi pantas untuk dirinya yang terpelajar. Sesuatu yang sebenarnya menjadi realitas hidupnya sebagai anak seorang petani. Apakah ini yang diajarkan guru di sekolah ? tentu saja tidak. Guru, selain sebagai "pengajar" yang melakukan transfer of knowledge, juga  sebagai ”pendidik” yang melakukan transfer of values untuk membentuk karakter anak. Kalau peran guru tersebut sudah dijalankan dengan benar, bagaimana ini bisa terjadi ?
Sebuah buku yang berjudul "Jurus Sukses Menjadi Guru Kreatif, Inspiratif dan Inovatif" karangan A. Lusita memberikan analisis yang menarik. Disadari atau tidak, arah pendidikan negeri ini semakin mengalami alienasi saja. Terasing dari akar budayanya yang telah lama menghunjam ke dalam bumi pertiwi. Kini, akar itu mulai tercerabut secara perlahan tapi pasti. Nilai-nilai lokalitas mulai terhempas dari dunia pendidikan.
Analisis di atas rasanya terlalu ekstrim dan apriori memandang realitas dunia pendidikan kita, tetapi tidak bijaksana kalau diabaikan, serta dapat menjadi bahan renungan. Analisis pada alinea di atas dinilai apriori dibuktikan dari masih adanya mata pelajaran muatan lokal yang berakar dari budaya lokal, menunjukkan bahwa nilai-nilai lokalitas masih diperhatikan. Selain itu pendidikan karakter juga sudah diterapkan, walaupun ternyata belum sepenuhnya efektif, sehingga contoh cerita yang dideskripsikan di atas masih menjadi realitas di masyarakat. Barangkali yang harus lebih intensif dilakukan guru adalah sebuah aksi penyadaran kepada siswa. Penyadaran yang dimaksud adalah berupa mengajak anak didik terkait dengan reliatas hidup mereka. Kondisi lokal yang menyelimuti keseharian siswa.
Sebuah solusi yang mungkin dapat diambil guru adalah dengan menerapkan konsep pembelajaran berwawasan kemasyarakatan. Pembelajaran berwawasan kemasyarakatan yaitu pembelajaran yang diselenggarakan dengan menggunakan berbagai potensi (sumber daya) yang ada pada lingkungan masyarakat, yang terdiri atas sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya, dan sumber daya teknologi.
Konsep pembelajaran tersebut, mempunyai kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi siswa karena materi terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, juga masalah yang diangkat ada kesesuaian dengan kebutuhan peserta didik, sehingga daya serap siswa terhadap materi yang disampaikan guru menjadi relatif baik dan mengendap lama dalam ingatan siswa. Selain itu, terjadi proses penyadaran akan realitas hidup mereka. Sebagai contoh, apabila dalam pelajaran IPA materi tumbuh-tumbuhan, maka siswa dapat diajak ke sawah atau ke ladang, untuk melihat secara langsung bentuk daun, batang, dan akar dari tumbuh-tumbuhan tertentu. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa ternyata mereka memiliki kekayaan hayati yang bisa dijadikan sumber pengetahuan. Lebih dari itu, jalinan emosional dengan orang lain (petani) akan tumbuh dengan sendirinya di dalam dirinya.
Tentu saja proses penyadaran ini tidak terjadi seketika, sim salabim, tetapi secara bertahap dalam kesinambungan pembelajaran berwawasan kemasyarakatan dengan memanfaatkan kearifan lokal. Dibutuhkan kesabaran dan kreativitas guru dalam menelaah materi yang akan disajikan untuk disesuaikan dengan sumber belajar yang tersedia di lingkungan masyarakat. "Jaya Terus Guru Indonesia".

Berbagi Informasi
Berbagi Informasi Updated at: Rabu, Desember 18, 2013

28 komentar:

  1. wajar lah om
    kemajuan teknologi terlalu cepat membuat kita tergagap gagap sampe menganggap kearifan lokal itu sesuatu yang ketinggalan jaman dan melawan tren. sebagian guru pun kadang terjebak suasana kompetensi sampe ikut ikutan ingin menjadi yang terdepan dan hanyut dalam kegagapan itu.
    kepiye maneh udah jamane...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Justru karena kuwe kang, kudu dadi perhatian, ben kearifan lokal bisa diwariskan dari generasi ke generasi, ben ora kelangan jati diri ketimuran

      Hapus
    2. Iya Mas Is aku sebagai wong etan setuju banget..

      Hapus
    3. ditengah kuwe nylilit ya kang Zach ... tapi anget jarene cak Agus

      Hapus
    4. lha nyatane aku seminggu sekali nulis pake basa banyumasan suka ada yang bilang katrok kampungan. mantep tho..?

      Hapus
    5. sing penting ra diomong katrok karo wong banyumas kang Rawins

      Hapus
  2. bagi anak-anak kota tentu saja hal-hal seperti itu terkesan menjijikkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau contoh kasus itu terjadi pada orang kota yang kesehariannya tidak dekat dengan kehidupan petani memang wajar, tapi kalau itu terjadi di desa pada anak petani, khan menjadi kurang pas

      Hapus
    2. Berarti perlu diajar ya mas Boku ... he he he

      Hapus
    3. Baru idup di desa keakean gaya, gimana kalau hidup di kota anak itu tu, bisa rusak moralnya....

      Hapus
    4. tergantung yang nge-set, orang tuanya

      Hapus
    5. nek salah ngeset, direset bae ya kang Zach ..

      Hapus
  3. Anak-anak sekarang pembelajaran seperti itu perlu digalakkan Mas,
    jangan keegoisan dan individualismenya yang ditinggikan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mas Boku, tidak perlu jauh-jauh biar gak pake biaya, yang penting pesannya tersampaikan, dan juga dengan pengalaman langsung dengan sumber belajar di lingkungan, menjadikan siswa lebih paham materi yang diajarkan.

      Hapus
    2. efek samping dari kemajuan teknologi, tinggal bagaimana mempengaruhi pelajar dari sekarang, guru, orang tua, dan lingkungan adalah org2 yg di anggap mampu merubah mindset para pelajar. gengsi itu wajar tapi kalo males ya musti harus di rubah

      Hapus
    3. Muaranya memang merubah mindset para pelajar. Pada kasus-kasus tertentu gengsi itu wajar, tetapi kalau sudah menyangkut kondisi keseharian mereka menjadi tidak wajar. Sebagai contoh ada beberapa kasus yang saya tahu, ada anak sekolah yang gengsi untuk bersepeda ke sekolah, sehingga mengancam orang tua mogok sekolah apabila tidak dibelikan motor, padahal orang tuanya kurang mampu.

      Hapus
  4. Cara seperti ini harus sering dilakukan, dan perlu dipublikasikan. Kita ini sudah terlampau larut dimanja dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mas, kita memang tidak bisa membendung arus teknologi dan informasi, ini juga penting. Tetapi yang harus dijaga adalah agar hal itu tidak sampai menggerus nilai-nilai yang kita anut selama ini.

      Hapus
  5. Apa yang terjadi dalam realitas masyarakat tidak murni kesalahan Guru, karena interaksi siswa dan guru hanya beberapa jam saja di sekolah. waktu yang lebih banyak dihabiskan anak adalah di luar sekolah. Inti pendidikan itu ada di rumah, di sekolah hanya materi tambahan untuk memperluas wawasan... pendidikan di rumahlah yang mestinya membentuk karakter anak, bukan guru. Guru hanya memberi stimulan, keteladanan, dan sebagai lembaga yang turut memantau perkembangan anak anda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener mbak Etika Maria, memang tidak sepenuhnya kesalahan guru, tetapi juga tidak boleh guru lepas tangan, karena peran guru dalam transfer value. Untuk itu dibutuhkan kerjasama antara guru dan orang tua di rumah. Dalam peran guru untuk transfer value, tentunya harus dicari suatu metode yang efektif, apalagi biasanya khususnya anak-anak lebih memperhatikan apa yang disampaikan guru daripada apa yang disampaikan orang tua

      Hapus
  6. Gambaran umum remaja usia sekolah seperti itu mas, merasa gengsi, yang akhirnya melahirkan generasi malin kundang modern...

    Sepertinya pembelajaran yang disampaikan menjadi solusi yang efektif..

    BalasHapus

Terima Kasih Atas Kunjungannya
Harap berkomentar yang santun
dan tidak ada unsur SARA dan pornografi
Maaf, komentar dengan link aktif akan dihapus