Suatu siang, Anto
seorang pelajar sebuah SMA swasta di Bantul Yogyakarta yang baru pulang dari
sekolah disuruh ibunya untuk mengantarkan makanan kepada ayahnya ke sawah. Makanan
tersebut untuk ayahnya dan tukang traktor yang disewa ayahnya untuk membajak
sawah yang akan ditanami padi. Anto yang terkenal "funky" itu seketika pura-pura pusing dan segera bergegas masuk
ke kamarnya. Ibunya hanya menghela napas, sambil mengeluarkan sepeda
"ontel" butut dan bergegas ke sawah mengantar makanan yang sudah
ditunggu ayahnya.
Sepenggal
cerita di atas, seringkali terjadi di masyarakat. Anak-anak dan remaja yang
sudah terbiasa ke sekolah dengan pakaian licin dan rapi, terkesan gengsi untuk
melakukan hal-hal yang dinilai tidak lagi pantas untuk dirinya yang terpelajar.
Sesuatu yang sebenarnya menjadi realitas hidupnya sebagai anak seorang petani.
Apakah ini yang diajarkan guru di sekolah ? tentu saja tidak. Guru, selain
sebagai "pengajar" yang melakukan transfer of knowledge, juga
sebagai ”pendidik” yang melakukan transfer
of values untuk
membentuk karakter anak. Kalau peran guru tersebut sudah dijalankan dengan
benar, bagaimana ini bisa terjadi ?
Sebuah
buku yang berjudul "Jurus Sukses Menjadi Guru Kreatif, Inspiratif dan
Inovatif" karangan A. Lusita memberikan analisis yang menarik. Disadari
atau tidak, arah pendidikan negeri ini semakin mengalami alienasi saja.
Terasing dari akar budayanya yang telah lama menghunjam ke dalam bumi pertiwi.
Kini, akar itu mulai tercerabut secara perlahan tapi pasti. Nilai-nilai
lokalitas mulai terhempas dari dunia pendidikan.
Analisis
di atas rasanya terlalu ekstrim dan apriori
memandang realitas dunia pendidikan kita, tetapi tidak bijaksana kalau
diabaikan, serta dapat menjadi bahan renungan. Analisis pada alinea di atas
dinilai apriori dibuktikan dari masih
adanya mata pelajaran muatan lokal yang berakar dari budaya lokal, menunjukkan
bahwa nilai-nilai lokalitas masih diperhatikan. Selain itu pendidikan karakter
juga sudah diterapkan, walaupun ternyata belum sepenuhnya efektif, sehingga
contoh cerita yang dideskripsikan di atas masih menjadi realitas di masyarakat.
Barangkali yang harus lebih intensif dilakukan guru adalah sebuah aksi penyadaran
kepada siswa. Penyadaran yang dimaksud adalah berupa mengajak anak didik
terkait dengan reliatas hidup mereka. Kondisi lokal yang menyelimuti keseharian
siswa.
Sebuah
solusi yang mungkin dapat diambil guru adalah dengan menerapkan konsep
pembelajaran berwawasan kemasyarakatan. Pembelajaran berwawasan kemasyarakatan
yaitu pembelajaran yang diselenggarakan dengan menggunakan berbagai potensi
(sumber daya) yang ada pada lingkungan masyarakat, yang terdiri atas sumber
daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya, dan sumber daya teknologi.
Konsep
pembelajaran tersebut, mempunyai kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi siswa
karena materi terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, juga masalah yang
diangkat ada kesesuaian dengan kebutuhan peserta didik, sehingga daya serap
siswa terhadap materi yang disampaikan guru menjadi relatif baik dan mengendap
lama dalam ingatan siswa. Selain itu, terjadi proses penyadaran akan realitas
hidup mereka. Sebagai contoh, apabila dalam pelajaran IPA materi
tumbuh-tumbuhan, maka siswa dapat diajak ke sawah atau ke ladang, untuk melihat
secara langsung bentuk daun, batang, dan akar dari tumbuh-tumbuhan tertentu. Hal
ini menimbulkan kesadaran bahwa ternyata mereka memiliki kekayaan hayati yang
bisa dijadikan sumber pengetahuan. Lebih dari itu, jalinan emosional dengan
orang lain (petani) akan tumbuh dengan sendirinya di dalam dirinya.
Tentu saja proses
penyadaran ini tidak terjadi seketika, sim
salabim, tetapi secara bertahap dalam kesinambungan pembelajaran berwawasan
kemasyarakatan dengan memanfaatkan kearifan lokal. Dibutuhkan kesabaran dan
kreativitas guru dalam menelaah materi yang akan disajikan untuk disesuaikan
dengan sumber belajar yang tersedia di lingkungan masyarakat. "Jaya Terus
Guru Indonesia".
wajar lah om
BalasHapuskemajuan teknologi terlalu cepat membuat kita tergagap gagap sampe menganggap kearifan lokal itu sesuatu yang ketinggalan jaman dan melawan tren. sebagian guru pun kadang terjebak suasana kompetensi sampe ikut ikutan ingin menjadi yang terdepan dan hanyut dalam kegagapan itu.
kepiye maneh udah jamane...
Justru karena kuwe kang, kudu dadi perhatian, ben kearifan lokal bisa diwariskan dari generasi ke generasi, ben ora kelangan jati diri ketimuran
HapusIya Mas Is aku sebagai wong etan setuju banget..
HapusLha saya tengah2 je mas Boku .. hehehehe
Hapusdi tengah itu nyelip ya namanya?
Hapusditengah itu anget kok
Hapusditengah kuwe nylilit ya kang Zach ... tapi anget jarene cak Agus
Hapuslha nyatane aku seminggu sekali nulis pake basa banyumasan suka ada yang bilang katrok kampungan. mantep tho..?
Hapussing penting ra diomong katrok karo wong banyumas kang Rawins
Hapusbagi anak-anak kota tentu saja hal-hal seperti itu terkesan menjijikkan
BalasHapuskalau contoh kasus itu terjadi pada orang kota yang kesehariannya tidak dekat dengan kehidupan petani memang wajar, tapi kalau itu terjadi di desa pada anak petani, khan menjadi kurang pas
Hapuskurang pas dan kurang ajar ya Mas..
HapusBerarti perlu diajar ya mas Boku ... he he he
HapusBaru idup di desa keakean gaya, gimana kalau hidup di kota anak itu tu, bisa rusak moralnya....
Hapustergantung yang nge-set, orang tuanya
Hapusnek salah ngeset, direset bae ya kang Zach ..
HapusAnak-anak sekarang pembelajaran seperti itu perlu digalakkan Mas,
BalasHapusjangan keegoisan dan individualismenya yang ditinggikan..
Betul mas Boku, tidak perlu jauh-jauh biar gak pake biaya, yang penting pesannya tersampaikan, dan juga dengan pengalaman langsung dengan sumber belajar di lingkungan, menjadikan siswa lebih paham materi yang diajarkan.
Hapusefek samping dari kemajuan teknologi, tinggal bagaimana mempengaruhi pelajar dari sekarang, guru, orang tua, dan lingkungan adalah org2 yg di anggap mampu merubah mindset para pelajar. gengsi itu wajar tapi kalo males ya musti harus di rubah
HapusMuaranya memang merubah mindset para pelajar. Pada kasus-kasus tertentu gengsi itu wajar, tetapi kalau sudah menyangkut kondisi keseharian mereka menjadi tidak wajar. Sebagai contoh ada beberapa kasus yang saya tahu, ada anak sekolah yang gengsi untuk bersepeda ke sekolah, sehingga mengancam orang tua mogok sekolah apabila tidak dibelikan motor, padahal orang tuanya kurang mampu.
Hapusbetul!
HapusCara seperti ini harus sering dilakukan, dan perlu dipublikasikan. Kita ini sudah terlampau larut dimanja dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat.
BalasHapusBetul mas, kita memang tidak bisa membendung arus teknologi dan informasi, ini juga penting. Tetapi yang harus dijaga adalah agar hal itu tidak sampai menggerus nilai-nilai yang kita anut selama ini.
HapusApa yang terjadi dalam realitas masyarakat tidak murni kesalahan Guru, karena interaksi siswa dan guru hanya beberapa jam saja di sekolah. waktu yang lebih banyak dihabiskan anak adalah di luar sekolah. Inti pendidikan itu ada di rumah, di sekolah hanya materi tambahan untuk memperluas wawasan... pendidikan di rumahlah yang mestinya membentuk karakter anak, bukan guru. Guru hanya memberi stimulan, keteladanan, dan sebagai lembaga yang turut memantau perkembangan anak anda.
BalasHapusBener mbak Etika Maria, memang tidak sepenuhnya kesalahan guru, tetapi juga tidak boleh guru lepas tangan, karena peran guru dalam transfer value. Untuk itu dibutuhkan kerjasama antara guru dan orang tua di rumah. Dalam peran guru untuk transfer value, tentunya harus dicari suatu metode yang efektif, apalagi biasanya khususnya anak-anak lebih memperhatikan apa yang disampaikan guru daripada apa yang disampaikan orang tua
HapusGambaran umum remaja usia sekolah seperti itu mas, merasa gengsi, yang akhirnya melahirkan generasi malin kundang modern...
BalasHapusSepertinya pembelajaran yang disampaikan menjadi solusi yang efektif..
malin kundan versi berapa mas muroi ?
Hapusitu poin-nya mas ...
BalasHapus